Bus malam berjalan cepat menembus gelapnya jalanan Solo-Jogja di malam berkabut itu. Bus malam yang hanya berisi empat orang penumpang. Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh lebih sebelas menit. Ada sepasang mata seorang gadis berwajah manis yang masih menikmati indahnya kegelapan malam berkabut itu. Di kursi depannya, duduk seorang kakek yang sudah terlelap bahkan sejak sebelum bus malam ini meninggalkan terminal Tirtonadi di Solo tadi. Sedangkan di dua baris kursi di belakangnya, duduk sepasang bapak-ibu yang juga sudah terlelap setelah sempat bercengkerama sebentar. Mata si gadis terus memandang keluar jendela bus, seolah menghitung jumlah lampu jalan yang terlewati. Jari-jarinya terkatup menahan dinginnya AC bus malam. Pikiran gadis itu melayang ke masa dua tahun silam tentang kasih yang ia tinggalkan. Tentang kenangan yang sudah terlupakan selama ini.
***
Suara syahdu burung perkutut yang manggung sore itu menghentikan seorang pemuda
yang sedang mengetik sebuah cerita di beranda rumahnya. Sejenak ia menikmati
saat syahdu karena suara burung perkututnya, suara yang tidak selalu hadir
karena burung muda itu memang belum terlalu rajin manggung. “Bisa manggung juga
kamu, le...” ujar pemuda itu sambil tersenyum dan meneruskan mengetik sesaat
setelah burung itu berhenti manggung. Sejenak kemudian ia seruput teh tubruk
manis dari gelas di sampingnya. Lalu tak lama sebatang rokok sudah terselip di
antara bibirnya dan asap mulai mengepul.
Dua tahun yang lalu, di beranda rumah pemuda itu sering duduk sepasang pemuda
dan pemudi. Mereka suka bercerita tentang hijaunya sawah yang indah ketika
musim tanam, atau kuningnya padi sebelum panen. Terkadang mereka juga
berbincang tentang masa depan yang ingin mereka rajut kelak. Lincak bambu di
beranda itu yang menjadi saksi kisah manis dari sepasang kekasih yang sedang
kasmaran kala itu. Di lincak itu pula kini si pemuda melemparkan imajinya
kepada kenangan dua tahun silam. Entah berapa lama pemuda itu terhanyut kedalam
lamunannya.
***
“Rumahmu itu enak ya, mas. Asri...” ujar si gadis. “Bunga-bunga itu tanaman
nenek. Beliau gemar sekali pada tanaman hias. Sesekali aku hanya membantu
menyirami tanaman-tanaman itu, itu pun kalau sedang musim kemarau.” Jelas si
pemuda. “Andai aku punya halaman seluas ini, aku ingin punya tanaman seperti
ini, mas.” Lanjut si gadis. Pemuda di sampingnya menyeruput kopi kemudian
tersenyum dan menjawab,” kenapa tidak? Besok kalau kita sudah nikah, kita
tinggal di rumah dengan halaman yang cukup untuk membuat taman seperti milik
nenek ini. Mau?” si gadis mengangguk mantap. “Aku mau mas, sangat mau. Tapi
kamu yang mengurus tanamannya, ya. Aku orangnya tidak telaten untuk hal hal
semacam ini.” Jawab si gadis sambil tersenyum. Senyum yang manis, yang selalu
bisa menarik perhatian si pemuda. “ Kalau senyum itu jangan sambil merem. Kalau
kau senyum seperti itu, aku pergi kau tidak tahu nanti... Heh, kalau aku yang
harus ngurus tanamannya, ya mending tidak usah. Punya rumah biasa saja, yang
sederhana, sepi, tapi damai” tukas pemuda itu. “Yah, kok begitu? Ah, kamu tidak
sayang sama aku!” si gadis mulai merajuk. Bibirnya sedikit dimajukan tanda ia
sedang pura-pura merajuk. “Heh, kamu itu lho. Sedikit-sedikit bilang aku tidak
sayang kamu. Kamu kan tahu aku sangat sayang sama kamu, nona muda..” jawab si
pemuda sambil mencubit pipi si gadis. “Beneeer?” tanya si gadis sambil melirik
genit pada si pemuda. “Kalau memang sayang kok tidak mau mengurus tanaman buat
aku?” lanjut si gadis. “Karena aku lebih memilih untuk mengurus kamu daripada
mengurus tanaman-tanaman seperti ini, nona...” jawab si pemuda sambil tertawa.
“Aah, kamu itu lho. Bisa aja kalau nggombal.” Kata si gadis sambil tersipu.
Sebentar kemudian mereka tertawa bersama. Si gadis meletakkan kepalanya di pundak
si pemuda, “aku sayang kamu, mas. Aku ingin selalu ada bersama kamu.” Bisik
gadis itu. “Aku juga. Aku juga sangat sayang padamu.” Balas si pemuda sambil
mengelus rambut si gadis.
***
Bus malam masih melaju. Beberapa menit lalu, bus ini sudah memasuki wilayah
Jogja. Mata si gadis masih tetap asyik menikmati pemandangan malam yang sepi
dan berkabut. Sejenak, tangan si gadis saling gesek untuk menghangatkan jemari
yang mulai terasa kaku karena hawa dingin di dalam bus malam.
“Dari tadi anda belum tidur, mbak?” tanya kakek yang ada di depannya. Gadis itu
agak terkaget karena pertanyaan yang tiba-tiba itu. “Eh, belum, Kek. Ac-nya
dingin sekali. Saya tidak bisa tidur.” Jawab si gadis sekenanya. “Oh, begitu.
Saya kira sedang melamun” sindir sang kakek. “Ah, kakek tahu saja kalau saya
melamun.” Jawab si gadis malu-malu. “Boleh saya duduk di samping anak?” tanya
sang kakek. “Oh silakan, kek.”Jawab si gadis, dalam hati merasa sedikit
bersyukur, setidaknya akan ada teman untuk berbincang-bincang.
Sejenak kemudian, sang kakek sudah berada di samping gadis manis itu. Namun
setelah beberapa saat, belum juga muncul obrolan. Si gadis sendiri merasa
lidahnya kelu untuk memulai obrolan. “Kusumaning ati, duh cah ayu kang dak
anti-anti...” sang kakek malah mulai menyanyikan sebuah tembang. Suara
tuanya masih terdengar merdu. “Mung tekamu, bisa gawe tentreming atiku.
Mbiyen nate janji, dak ugemi nora bakal lali... Tur kelingan, jeroning ati sak
bedahing bumi...”si kakek asyik melantunkan nada-nada tembang itu. Si gadis
pun semakin hanyut menikmati suaru tua nan merdu itu. “Amung pamujiku
muga-muga ra ana rubedha sak ungkure nggonmu lunga, ora kandha-kandha....”
sampai bagian itu sang kakek berhenti. “Anak tahu tembang ini?” pertanyaan sang
kakek membuyarkan lamunan si gadis. “Oh-eh, saya rasanya pernah mendengar lagu
ini, kek. Tapi saya tidak tahu siapa penyanyinya dan apa judulnya.” Jawab si
gadis. “Judulnya, kusumaning ati, ngger. Kalau penyanyi, banyak yang
menyanyikan sampai saat ini. Tapi bukan itu yang penting, lebih penting adalah
arti dari tembang itu.” Jawab si kakek dengan suara tuanya. “Saya tidak hafal
liriknya, kek. Jadi saya tidak mengerti artinya.” Jawab si gadis sambil
tersipu. “Tidak hafal atau tidak mengerti bahasa Jawa, nak?” goda sang kakek.
“Itu tembang tentang sebuah doa baik dari seseorang yang ditinggalkan oleh sisihannya.
Bahkan setelah dia ditinggalkan, dia tetap melantunkan doa baik untuk dia yang
meninggalkannya.” Papar sang kakek kemudian. “Nampak sederhana memang. Tapi sangat
susah dilampahi, kek.” Jawab si gadis. “Lho, apa anak pernah mengalami?
Kok tahu kalau itu susah?” tanya si kakek kemudian. Si gadis hanya tersenyum.
Bus malam memasuki pelataran terminal Giwangan.
***
Pemuda itu masih asyik dengan ketikan ceritanya sore itu. Namun sejenak
kemudian, ia berhenti. Ia berjalan ke arah bunga-bunga anggrek yang mekar.
Anggrek-anggrek berwarna ungu itu nampak sangat cantik. Kecantikkan bunga-bunga
itu merangsang tangan si pemuda untuk membelainya. “Kalau dua tahun yang lalu,
tangannya yang akan lebih rajin membelai kalian daripada tanganku. Namun,
jangan kalian rindukan belaian itu lagi. Belaian itu hanya akan ada pada
kenangan kita.” Ujar si pemuda kepada bunga-bunga di depannya. “Ia tak akan
kembali. Di hatinya sudah bukan namaku yang terukir. Walau pun aku rindu,
serindu-rindunya tapi rindu itu hanya tinggal milikku. “ lanjut si pemuda yang
kemudian kembali kepada alat ketiknya.
Pemuda itu memandangi langit merah di ufuk barat. Tepat di atas barisan bukit
Menoreh. Angin hangat menyapu wajahnya. Langit merah ketika aruna kembali ke
peraduannya, langit merah yang sangat disukai gadis yang telah pergi itu kini
muncul dengan sangat cantik. Burung perkutut milik si pemuda manggung sekali
lagi. Si pemuda terdiam sejenak, “Sempurna...” seru si pemuda dalam hati.
Sebentar kemudian ia mengemasi alat ketiknya. “Semoga ia bahagia dengan
pilihannya...” bisik si pemuda kepada angin yang berlalu melewati wajahnya
dengan lembut. Pemuda itu tidak pernah tahu kalau malam nanti, si gadis akan
kembali ke Jogja. Apakah gadis itu akan kembali kepadanya juga? Tiada yang
pernah tahu.
***
Si gadis itu telah turun dari bus malam yang membawanya melintasi jalanan
Solo-Jogja. Ia menengok kiri-kanan. Sejenak kemudian ia melambaikan tangan
kepada seseorang dan berlari menghampirinya. “Siap menuju rumah?” tanya seorang
bapak yang menjemput gadis itu. “Siap dong, pah...” jawab si gadis singkat,
kemudian masuk ke dalam mobil yang menjemputnya. Sembari mobil berjalan, ia
memandangi jalanan malam lagi. Kusumaning ati... Tembang yang dilantunkan kakek
itu masih berputar-putar di kepalanya. Demikian juga dengan penjelasan dan
pertanyaan dari sang kakek di dalam bus tadi. “Kek, dalam lagu itu aku adalah
orang yang pergi meninggalkan pasangannya itu... Namun apakah lelaki yang aku
tinggalkan juga mendaraskan doa baik bagiku seperti di tembangmu itu?” renung
si gadis dalam hatinya di sela-sela lamunan.
“Pa... Papa tahu dan punya lagu Kusumaning ati?” tanya si gadis kepada papanya
yang setahu si gadis sering mendengarkan tembang Jawa. “Ada” Jawab sang bapak
singkat. Si gadis mengangguk, kemudian melemparkan pandangannya keluar jendela
mobil lagi. “Kusumaning ati, duh cah ayu kang dak anti-anti...” tiba-tiba
tembang itu terdengar dari pemutar video di mobil. Si gadis tetap memandang
keluar jendela. Selain si gadis itu, tak ada yang tahu bahwa air matanya mulai
menitik perlahan...
Yogyakarta, 10 Maret 2015
Asu Gunung
Nb: Karya ini pernah dimuat dalam website https://sudutkantin.com/