Sebelum cahaya pertama menyapa
Kandang Waung
Kandang bagi anak- anak kata. Selamat berkunjung di Kandang Waung yang merumahkan tulisan- tulisan Asu Gunung (domenicosavioega).
Selasa, 02 Desember 2025
Jejak Ranting Cemara
Sebelum cahaya pertama menyapa
Minggu, 23 November 2025
Kepada Embun di Pucuk Cantigi
Setelah usai perjalanan
Senin, 20 Oktober 2025
Francesco
Anak- anak
kurus kehilangan Bapa
Para
tentara yang angkat senjata kehilangan pendoa
Dunia
kehilangan teduhnya
Kau pulang
kepada Bapa
Akh,
Aku tak
punya dupa yang wangi malam ini
Tapi kau
rumahnya pemakluman
Dan tentu
kau maklum bahwa asap yang mengepul di kamarku
Dalam
mendoakan kepulanganmu bukan asap dupa atau ratus tapi samsu sebungkus
Bersama
asap putih yang membumbung ini, aku menitip doa
Doa
keselamatan bagi perjalanan jauhmu kali ini
Satu kali
Bapa Kami dan berkali- kali Salam Maria
Aku tutup
dengan Kemuliaan
Aku kenang
senyum sederhanamu yang biar sederhana tapi selalu ada
Dan saat
ini mungkin kau juga senyum sendiri
Melihat
umatmu yang satu ini merenungkan karyamu di sudut kamarnya
Sesekali
diseruputnya kopi hitam, sehitam duka kehilangan ini
Kubayangkan
kembali beberapa detik temu pandang kita
Beberapa
detik yang penuh rahmat dan syukur
Berkat-
berkatmu bagi anak- anak kecil dan miskin
Doa- doamu
bagi yang disingkirkan dari masyarakat
Kini kau
tempuh perjalanan jauh dan sunyi menuju keabadian
Karyamu
tertinggal dalam kenang
Satu
helaan napas Panjang
Sebelum
kata “Amin” pada Salam Maria Terakhir
Satu
Helaan napas Panjang
Sebelum
kata “Amin” pada Kemuliaan terakhir
Asap
terakhir membumbung membawa doa paling ikhlas
Dan
sebatang terakhir, aku letakkan di asbak…
Doa
yang baik bagimu, Francesco
22
April 2025
Asu Gunung
Rabu, 15 Oktober 2025
Bagimu Ku Gelarkan Sriwedari
Marilah kekasihku,
Mekarkan kembang bibirmu yang merah ranum
genggam kembali jari- jari usangku
pandangi bersama susutnya mentari tua
yang perlahan bersimpuh di balik punggung dunia
Marilah kekasih,
Binarkan 'caya matamu yang penuh kerlip
kita hitung lagi bintang malam
yang tak satu pun seindah kerlingmu
Mari kekasihku,
Menarilah, bentangkan busur tanganmu
bersama selaksa merak putih yang berlari- lari
diiringi merdu tetembangan seekor kepodang
yang berkidung tentang kasih yang tak usai
Marilah kekasihku,
telah aku gelarkan bagimu Sriwedari
menjadi taman cerita cinta
yang tak pernah sampai...
Kranji, 16 Oktober 2025
Asu Gunung
Selasa, 08 Juli 2025
Kusumaning Ati
Bus malam berjalan cepat menembus gelapnya jalanan Solo-Jogja di malam berkabut itu. Bus malam yang hanya berisi empat orang penumpang. Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh lebih sebelas menit. Ada sepasang mata seorang gadis berwajah manis yang masih menikmati indahnya kegelapan malam berkabut itu. Di kursi depannya, duduk seorang kakek yang sudah terlelap bahkan sejak sebelum bus malam ini meninggalkan terminal Tirtonadi di Solo tadi. Sedangkan di dua baris kursi di belakangnya, duduk sepasang bapak-ibu yang juga sudah terlelap setelah sempat bercengkerama sebentar. Mata si gadis terus memandang keluar jendela bus, seolah menghitung jumlah lampu jalan yang terlewati. Jari-jarinya terkatup menahan dinginnya AC bus malam. Pikiran gadis itu melayang ke masa dua tahun silam tentang kasih yang ia tinggalkan. Tentang kenangan yang sudah terlupakan selama ini.
***
Suara syahdu burung perkutut yang manggung sore itu menghentikan seorang pemuda
yang sedang mengetik sebuah cerita di beranda rumahnya. Sejenak ia menikmati
saat syahdu karena suara burung perkututnya, suara yang tidak selalu hadir
karena burung muda itu memang belum terlalu rajin manggung. “Bisa manggung juga
kamu, le...” ujar pemuda itu sambil tersenyum dan meneruskan mengetik sesaat
setelah burung itu berhenti manggung. Sejenak kemudian ia seruput teh tubruk
manis dari gelas di sampingnya. Lalu tak lama sebatang rokok sudah terselip di
antara bibirnya dan asap mulai mengepul.
Dua tahun yang lalu, di beranda rumah pemuda itu sering duduk sepasang pemuda
dan pemudi. Mereka suka bercerita tentang hijaunya sawah yang indah ketika
musim tanam, atau kuningnya padi sebelum panen. Terkadang mereka juga
berbincang tentang masa depan yang ingin mereka rajut kelak. Lincak bambu di
beranda itu yang menjadi saksi kisah manis dari sepasang kekasih yang sedang
kasmaran kala itu. Di lincak itu pula kini si pemuda melemparkan imajinya
kepada kenangan dua tahun silam. Entah berapa lama pemuda itu terhanyut kedalam
lamunannya.
***
“Rumahmu itu enak ya, mas. Asri...” ujar si gadis. “Bunga-bunga itu tanaman
nenek. Beliau gemar sekali pada tanaman hias. Sesekali aku hanya membantu
menyirami tanaman-tanaman itu, itu pun kalau sedang musim kemarau.” Jelas si
pemuda. “Andai aku punya halaman seluas ini, aku ingin punya tanaman seperti
ini, mas.” Lanjut si gadis. Pemuda di sampingnya menyeruput kopi kemudian
tersenyum dan menjawab,” kenapa tidak? Besok kalau kita sudah nikah, kita
tinggal di rumah dengan halaman yang cukup untuk membuat taman seperti milik
nenek ini. Mau?” si gadis mengangguk mantap. “Aku mau mas, sangat mau. Tapi
kamu yang mengurus tanamannya, ya. Aku orangnya tidak telaten untuk hal hal
semacam ini.” Jawab si gadis sambil tersenyum. Senyum yang manis, yang selalu
bisa menarik perhatian si pemuda. “ Kalau senyum itu jangan sambil merem. Kalau
kau senyum seperti itu, aku pergi kau tidak tahu nanti... Heh, kalau aku yang
harus ngurus tanamannya, ya mending tidak usah. Punya rumah biasa saja, yang
sederhana, sepi, tapi damai” tukas pemuda itu. “Yah, kok begitu? Ah, kamu tidak
sayang sama aku!” si gadis mulai merajuk. Bibirnya sedikit dimajukan tanda ia
sedang pura-pura merajuk. “Heh, kamu itu lho. Sedikit-sedikit bilang aku tidak
sayang kamu. Kamu kan tahu aku sangat sayang sama kamu, nona muda..” jawab si
pemuda sambil mencubit pipi si gadis. “Beneeer?” tanya si gadis sambil melirik
genit pada si pemuda. “Kalau memang sayang kok tidak mau mengurus tanaman buat
aku?” lanjut si gadis. “Karena aku lebih memilih untuk mengurus kamu daripada
mengurus tanaman-tanaman seperti ini, nona...” jawab si pemuda sambil tertawa.
“Aah, kamu itu lho. Bisa aja kalau nggombal.” Kata si gadis sambil tersipu.
Sebentar kemudian mereka tertawa bersama. Si gadis meletakkan kepalanya di pundak
si pemuda, “aku sayang kamu, mas. Aku ingin selalu ada bersama kamu.” Bisik
gadis itu. “Aku juga. Aku juga sangat sayang padamu.” Balas si pemuda sambil
mengelus rambut si gadis.
***
Bus malam masih melaju. Beberapa menit lalu, bus ini sudah memasuki wilayah
Jogja. Mata si gadis masih tetap asyik menikmati pemandangan malam yang sepi
dan berkabut. Sejenak, tangan si gadis saling gesek untuk menghangatkan jemari
yang mulai terasa kaku karena hawa dingin di dalam bus malam.
“Dari tadi anda belum tidur, mbak?” tanya kakek yang ada di depannya. Gadis itu
agak terkaget karena pertanyaan yang tiba-tiba itu. “Eh, belum, Kek. Ac-nya
dingin sekali. Saya tidak bisa tidur.” Jawab si gadis sekenanya. “Oh, begitu.
Saya kira sedang melamun” sindir sang kakek. “Ah, kakek tahu saja kalau saya
melamun.” Jawab si gadis malu-malu. “Boleh saya duduk di samping anak?” tanya
sang kakek. “Oh silakan, kek.”Jawab si gadis, dalam hati merasa sedikit
bersyukur, setidaknya akan ada teman untuk berbincang-bincang.
Sejenak kemudian, sang kakek sudah berada di samping gadis manis itu. Namun
setelah beberapa saat, belum juga muncul obrolan. Si gadis sendiri merasa
lidahnya kelu untuk memulai obrolan. “Kusumaning ati, duh cah ayu kang dak
anti-anti...” sang kakek malah mulai menyanyikan sebuah tembang. Suara
tuanya masih terdengar merdu. “Mung tekamu, bisa gawe tentreming atiku.
Mbiyen nate janji, dak ugemi nora bakal lali... Tur kelingan, jeroning ati sak
bedahing bumi...”si kakek asyik melantunkan nada-nada tembang itu. Si gadis
pun semakin hanyut menikmati suaru tua nan merdu itu. “Amung pamujiku
muga-muga ra ana rubedha sak ungkure nggonmu lunga, ora kandha-kandha....”
sampai bagian itu sang kakek berhenti. “Anak tahu tembang ini?” pertanyaan sang
kakek membuyarkan lamunan si gadis. “Oh-eh, saya rasanya pernah mendengar lagu
ini, kek. Tapi saya tidak tahu siapa penyanyinya dan apa judulnya.” Jawab si
gadis. “Judulnya, kusumaning ati, ngger. Kalau penyanyi, banyak yang
menyanyikan sampai saat ini. Tapi bukan itu yang penting, lebih penting adalah
arti dari tembang itu.” Jawab si kakek dengan suara tuanya. “Saya tidak hafal
liriknya, kek. Jadi saya tidak mengerti artinya.” Jawab si gadis sambil
tersipu. “Tidak hafal atau tidak mengerti bahasa Jawa, nak?” goda sang kakek.
“Itu tembang tentang sebuah doa baik dari seseorang yang ditinggalkan oleh sisihannya.
Bahkan setelah dia ditinggalkan, dia tetap melantunkan doa baik untuk dia yang
meninggalkannya.” Papar sang kakek kemudian. “Nampak sederhana memang. Tapi sangat
susah dilampahi, kek.” Jawab si gadis. “Lho, apa anak pernah mengalami?
Kok tahu kalau itu susah?” tanya si kakek kemudian. Si gadis hanya tersenyum.
Bus malam memasuki pelataran terminal Giwangan.
***
Pemuda itu masih asyik dengan ketikan ceritanya sore itu. Namun sejenak
kemudian, ia berhenti. Ia berjalan ke arah bunga-bunga anggrek yang mekar.
Anggrek-anggrek berwarna ungu itu nampak sangat cantik. Kecantikkan bunga-bunga
itu merangsang tangan si pemuda untuk membelainya. “Kalau dua tahun yang lalu,
tangannya yang akan lebih rajin membelai kalian daripada tanganku. Namun,
jangan kalian rindukan belaian itu lagi. Belaian itu hanya akan ada pada
kenangan kita.” Ujar si pemuda kepada bunga-bunga di depannya. “Ia tak akan
kembali. Di hatinya sudah bukan namaku yang terukir. Walau pun aku rindu,
serindu-rindunya tapi rindu itu hanya tinggal milikku. “ lanjut si pemuda yang
kemudian kembali kepada alat ketiknya.
Pemuda itu memandangi langit merah di ufuk barat. Tepat di atas barisan bukit
Menoreh. Angin hangat menyapu wajahnya. Langit merah ketika aruna kembali ke
peraduannya, langit merah yang sangat disukai gadis yang telah pergi itu kini
muncul dengan sangat cantik. Burung perkutut milik si pemuda manggung sekali
lagi. Si pemuda terdiam sejenak, “Sempurna...” seru si pemuda dalam hati.
Sebentar kemudian ia mengemasi alat ketiknya. “Semoga ia bahagia dengan
pilihannya...” bisik si pemuda kepada angin yang berlalu melewati wajahnya
dengan lembut. Pemuda itu tidak pernah tahu kalau malam nanti, si gadis akan
kembali ke Jogja. Apakah gadis itu akan kembali kepadanya juga? Tiada yang
pernah tahu.
***
Si gadis itu telah turun dari bus malam yang membawanya melintasi jalanan
Solo-Jogja. Ia menengok kiri-kanan. Sejenak kemudian ia melambaikan tangan
kepada seseorang dan berlari menghampirinya. “Siap menuju rumah?” tanya seorang
bapak yang menjemput gadis itu. “Siap dong, pah...” jawab si gadis singkat,
kemudian masuk ke dalam mobil yang menjemputnya. Sembari mobil berjalan, ia
memandangi jalanan malam lagi. Kusumaning ati... Tembang yang dilantunkan kakek
itu masih berputar-putar di kepalanya. Demikian juga dengan penjelasan dan
pertanyaan dari sang kakek di dalam bus tadi. “Kek, dalam lagu itu aku adalah
orang yang pergi meninggalkan pasangannya itu... Namun apakah lelaki yang aku
tinggalkan juga mendaraskan doa baik bagiku seperti di tembangmu itu?” renung
si gadis dalam hatinya di sela-sela lamunan.
“Pa... Papa tahu dan punya lagu Kusumaning ati?” tanya si gadis kepada papanya
yang setahu si gadis sering mendengarkan tembang Jawa. “Ada” Jawab sang bapak
singkat. Si gadis mengangguk, kemudian melemparkan pandangannya keluar jendela
mobil lagi. “Kusumaning ati, duh cah ayu kang dak anti-anti...” tiba-tiba
tembang itu terdengar dari pemutar video di mobil. Si gadis tetap memandang
keluar jendela. Selain si gadis itu, tak ada yang tahu bahwa air matanya mulai
menitik perlahan...
Yogyakarta, 10 Maret 2015
Asu Gunung
Nb: Karya ini pernah dimuat dalam website https://sudutkantin.com/
Minggu, 29 Juni 2025
Peluru Bedil Bapak
Djenar, ibuku memberikan nama ini kepadaku delapan belas tahun yang lalu. Menurut ibuku, Djenar berarti kuning. Aku sendiri awalnya tidak begitu mengerti kenapa aku diberi nama yang artinya kuning. Ketika aku berusia dua belas tahun, sepuluh tahun yang lalu, aku bertanya kepada ibu mengapa aku memiliki nama yang artinya “kuning”. Ibuku menjelaskan bahwa ketika aku masih di dalam kandungan, mendekati saat aku lahir, ibuku tiba-tiba menyukai benda-benda yang berwarna kuning. Bahkan pakaian-pakaian yang ibu gunakan selalu mengandung unsur kuning, kalau sampai kehabisan pakaian yang mengandung corak berwarna kuning maka ibu bisa saja sewot selama seharian penuh. Itulah kenapa ketika aku terlahir, ibuku menyisipkan nama Djenar dalam deretan namaku.
Agni, nama ini disematkan oleh bapakku. Agni menurut bapak berarti api.
Rupanya, bapak maupun ibu menyumbang satu nama untukku. Kalau ibu menghadiahkan
nama Djenar, bapakku menyematkan nama Agni. Menurut bapak, nama seorang
anak laki-laki harus gagah dan berwibawa. Nama seorang laki-laki tidak boleh
lembek karena kepribadian si anak dipengaruhi oleh namanya. Bapakku memberi
nama yang berarti api untukku dengan harapan aku selalu penuh semangat, berjiwa
yang selalu berkobar-kobar, dan tidak pernah tersesat dalam menjalani
hidup karena aku memiliki penerang dalam namaku. Bapakku selalu mendidik aku
dengan keras. Menjadi laki-laki harus kuat menurut beliau. Apabila tidak cukup
tangkas, lebih baik aku tidak menjadi laki-laki.
Bagi aku sendiri, namaku hanyalah sebuah nama. Entah aku diberi nama yang
berarti kuning, merah, hijau, ataupun biru dan nama yang berarti api, air,
tanah, dan atau angin, aku sama sekali tidak memandang hal ini sebagai sesuatu
yang layak untuk aku pikirkan. Hal yang sebenarnya cukup layak untuk
diperhatikan bukan terletak pada nama itu melainkan pada harapan-harapan yang
menyertai setiap nama-nama. Bapakku adalah seorang polisi. Beliau cukup
keras dalam mendidikku. Seperti yang aku ungkapkan sebelumnya, baginya seorang
laki-laki yang tidak kuat dan tangkas lebih baik tidak menjadi laki-laki.
Komandan Iswahyudi, begitu biasanya para tetangga memanggil bapakku. Ibuku
adalah seorang ibu rumah tangga yang baik. Ia juga seorang penjahit. Jahitan ibuku
dikenal cukup baik, tak heran kalau banyak yang menjadi pelanggannya.
***
“Kenapa bibirmu bonyok macam itu, Nar?” tanya Jati, teman sekelasku, ketika aku
tiba di sekolah pagi itu. Aku hanya diam, pertanyaan dari Jati hanya aku jawab
dengan senyum kecil yang sedikit aku paksakan. “Nar, kalau ada masalah kamu
bisa cerita ke aku. Kita berkawan sudah lama, sejak kita sama-sama masih
kanak-kanak sampai kita kelas dua SMA begini. Apa kau masih belum bisa percaya
sama aku?” Jati kembali bertanya. Karena aku merasa memang tidak bisa lari lagi
dari pertanyaan-pertanyaan Jati, akhirnya aku memutuskan untuk menjawabnya.
“Kamu tahu perempatan di ujung kampung itu kan? Kemarin sore, ketika aku pulang
dari rumahmu itu, aku di cegat preman. Mereka bermaksud memalak uangku tapi
karena uangku cuma tinggal sepuluh ribu, mereka menghajar aku seperti ini.”
Jelasku pada Jati. Untuk sejenak Jati terdiam, aku mengira nampaknya jawabanku
akan bisa ia terima. Namun ternyata aku salah, Jati masih kurang percaya dengan
jawabanku. “ Ish, ada preman berani malak anak komendan Iswahyudi yang kondang
itu? Aku kok kurang ngandhel.” Ujar Jati. Aku hanya menjawab bahwa
apapun yang ia kira, mau percaya atau tidak tetapi memang itulah faktanya.
Akhirnya mau tidak mau, Jati menerima jawabanku. Atau mungkin sebenarnya bel
mulai pelajaran yang menyelamatkanku. Andai bel itu belum berbunyi, mungkin
sebenarnya Jati masih akan bertanya macam-macam hal kepadaku. Untung bel itu
segera berbunyi sehingga kami bergegas masuk ke kelas.
Mengingat keraguan dari Jati, sebenarnya keraguan itu tidak sepenuhnya salah.
Aku memang dihajar preman. Namun preman itu bukan preman di perempatan ujung
kampungku. Preman itu menghajar aku di ruang tamu rumahku. Preman bertubuh
kekar, berseragam polisi dengan pangkat komandan. Ya, preman itu adalah bapakku
sendiri, komandan Iswahyudi yang sangat terpandang di kampungku.
Bagi warga kampungku, komandan Iswahyudi adalah seorang polisi yang luar biasa
dan lain daripada yang lain. Mereka semua memandang sosok komandan Iswahyudi
sebagai pengayom dan pelayan masyarakat yang sangat baik. Memang tidak jarang
bapakku membantu tetanggaku dalam urusan-urusan hukum seperti membuat SIM dan
lain-lain. Bapak juga tidak pernah lalai ikut ronda, asalkan dia tidak sedang
berdinas. Ketika ada hajatan, bapak selalu hadir dan membantu yang punya
hajatan. Luar biasa memang peranan bapakku di masyarakat kampungku. Wajar bila
warga kampungku memandang sosok bapak sebagai komendan polisi yang baik, tegas,
dan santun.
Sayangnya, itu hanya terjadi ketika di luar rumah kami. Begitu bapak memasuki
pintu rumah kami, dia bukan lagi seorang komendan polisi yang baik dan santun.
Ia tak ubahnya seorang monster yang siap menelan apapun yang ia jumpai.
Jangankan menjadi pengayom, justru ketentraman di rumahku berantakan ketika ia
ada di rumah ini. Bibir bonyokku ini menjadi salah satu buktinya. Pandangan
warga kampungku terhadap bapak tak lebih dari sekedar tai kucing. Mereka
memuja-muja kebaikan bapak yang menurutku artificial, sangat dibuat-buat.
Mereka bisa menganggap bapak baik dan santun, jelas mereka bisa mengira seperti
itu karena mereka belum pernah mencicipi kerasnya sol sepatu dinas bapak.
***
“Agni Djenar, berapa tahun kau belajar membuat kopi, heh?” Bentak bapak pagi
itu. Sebelumnya aku bapak memang memintaku untuk menyeduhkan kopi baginya, aku
yang baru beranjak dari tilam pun segera membuatkan kopi yang menjadi penyebab
bentakan pagi itu muncul. “Djenar, sini kamu! Dasar kunyuk...” teriak bapakku
dari ruang tamu. Dengan enggan aku datangi dia. Aku tau setidaknya aku akan
sarapan dengan makian dan tempelengan dari monster berseragam itu. Tapi kalau
aku tidak datang, seisi rumah bisa jadi korban amukkannya. “Cepat, jalannya,
kambing! Jalan dari dapur ke ruang tamu saja lambat sekali kau! Sini, cepat!”
Teriaknya lagi, aku mempercepat langkahku. Begitu aku sampai di dekatnya, ia
segera menarik lenganku dan kemudian memiting kepalaku. Ia jejalkan gelas
kopinya, “Nih, cicipi kopi buatanmu! Ini kopi atau seduhan gula, heh?”
perlakuan kasar seperti ini bukan yang pertama bagiku. Ini sudah menjadi
semacam makanan sehari-hari buatku. Kalau sudah seperti ini aku cuma bisa diam,
mengumpat dalam hati.
Kejadian pagi itu yang membuat bibirku akhirnya harus memar dan membuat aku
menjadi seorang pembohong di hadapan Jati. Aku tahu berbohong itu tidak baik.
Tapi, kalau pun aku ceritakan yang sebenarnya, Jati juga tidak akan percaya.
Dia akan lebih tidak mempercayai kejujuranku daripada kebohonganku kepadanya
pagi itu. Aku cuma tidak mau cerita panjang lebar, dan ujung-ujungnya aku tidak
dipercayai juga. Lebih baik berbohong sedikit, tapi bisa segera menghentikan
serangan pertanyaan dari orang-orang seperti Jati ini.
***
Ibu sudah pergi ke pasar ketika aku bangun tidur pagi itu. Praktis di rumah
hanya ada aku dan bapak. Agak enggan sebenarnya aku keluar dari kamar, namun
berdiam lama-lama di kamar hanya akan menjadi bahan bagi munculnya kemarahan
bapak. Ia akan mencap aku sebagai pemalas dan lelaki yang lembek. Mau tidak mau
aku keluar dari kamarku. Bapak sedang duduk disalah satu kursi di ruang makan.
Ia menikmati sarapannya.
Aku terus berjalan menuju kamar mandi. Tak ada kata, tak ada sapa dari bapak
untuk aku atau pun dari aku untuk bapak. Agak aneh sebenarnya karena pagi ini
ia nampak kalem. Aku tidak tahu harus bersyukur atau curiga terhadap situasi
langka seperti ini. “Nar, bapak berangkat kantor dulu. Jangan lupa beres-beres
rumah, jangan main melulu mentang-mentang hari minggu.” Pamit bapak. Aku hanya
menjawab singkat, “Ya”. Ajaib, pikirku. Tidak ada bentakkan dari bapak
mengawali hari ini.
Selesai mandi, ketika hendak mengambil sarapan, mataku menangkap sesuatu yang
janggal. Di meja makan tergeletak sesuatu yang tak asing. Benda hitam
berbungkus itu biasanya tergantung di pinggang bapak. Biasanya benda itu tidak
pernah lepas dari pingganggnya. Bagaimana bisa hari ini, bedil mungil ini
tergeletak di meja makan, ditinggalkan oleh empunya? Aku letakkan kembali
piringku. Aku urungkan niat mengambil nasi. Tanganku lebih tergoda untuk
merengkuh bedil bapak ini. Aku amati bedil itu, aku nikmati moment itu.
Ternyata nyaman sekali ketika tanganmu menggenggam sebuah bedil. Aku bawa bedil
itu ke kamarku. Aku selipkan di bawah kasurku. Aku hanya meletakaannya begitu
saja. Aku bahkan tak tau mau aku apakan bedil ini. Mengembalikan kepada bapak?
Rasanya sayang sekali melepaskan kemegahan yang sudah dalam genggaman, bukan?
Jadi mengembalikan kepada bapak menjadi sebuah hal yang akan aku pikirkan
paling terakhir, setelah aku benar-benar puas dan tak tahu mau aku apakan lagi
bedil ini.
“Nar, kamu sudah sarapan, Le?” tanya ibu ketika pulang dari pasar. “Belum...”
jawabku dari dalam kamar. “Ini sarapan dulu. Ibu belikan mie kuning
kesukaanmu.” Panggil ibu. Aku beranjak dari kamarku. Belum sempat aku mengambil
piring, terdengar suara pitu dibuka dengan kasar. Bapak masuk dengan muka
merah, nampak sangat emosional. Ia segera menuju meja makan. Aku langsung tahu
tujuannya, ia pasti mencari bedilnya. “Nar, kau lihat bedil bapak?” tanya bapak
dengan kasar. “tidak, pak.” Jawabku singkat. “ Heh, jangan bohong kamu! Tadi
bapak taruh meja makan. Cuma ada kamu dan bapak tadi yang di rumah!” Sahutnya
sambil membentak dan menamparku. Mendengar suara ribut dan suara bapak
membentak, ibu keluar dari dapur. “Ada apa, pak?” tanya ibu lembut tapi tak
bisa menyembunyikan rasa paniknya. “Ini, anakmu ini sudah belajar menipu!
Gara-gara kau selalu memanjakannya, ia jadi anak yang tidak jujur.” Tukas
bapak. “Tidak jujur bagaimana toh, pak? Tidak mungin Djenar menjadi pembohong,
pak. Senakal-nakalnya Djenar, ia anak yang jujur” tanya ibu kaget. “Kamu berani
membela anak setan itu?” bentak bapak. Hatiku sakit mendengar bentakkan itu.
Boleh bapak membentak, menampar, memukuli aku tapi jangan pada ibu. Satu
bentakkan terhadap ibu, seperti seribu peluru bedil bapak menghujam telinga dan
hatiku. Aku beringsut menuju kamar. Aku menangis di dalam kamarku. Sementara di
ruang makan, bapak masih memaki-maki ibu. “Ampun, pak... Ampun.. Iya, pak. Aku
ngaku salah. Ampuuuuun...” ratapan ibu semakin menusuk hatiku. “Pak, bedilmu
ada di sini” kataku yang sudah tepat di belakang punggung bapak dengan bedil
yang juga sudah terarah tepat ke dadanya. “Naar, jangan... Ingat, le dia itu
bapakmu... Jangan nekat, Le!” kata ibu sambil terus menangis. Tapi terlambat,
“Dooor..” sebuah peluru telah termuntahkan. Bapak mengerang sambil terjatuh.
Ibu tergopoh-gopoh mendatangi bapak. Ia terus menangis sambil memanggil-manggil
bapak. Beberapa detik kemudian, “ Door... Door...” terdengar kembali suara
bedil bapak berdentum dua kali...
Yogyakarta,
08 Maret 2015
Asu Gunung
Nb: Karya ini pernah dimuat dalam website https://sudutkantin.com/
Senin, 23 Juni 2025
Sebatang Pohon Belimbing
Dahulu
ketika aku kecil, aku memiliki ketergantungan terhadap buah-buahan. Setiap hari
aku harus mengkonsumsi buah minimal satu, buah apa pun. Apabila aku tidak
mengkonsumsi buah, bisa dipastikan aku akan sakit setelahnya. Karena
ketergantunganku itu, aku sering di panggil codot oleh teman-teman dan
tetanggaku.
Memiliki ketergantungan terhadap buah-buahan, membuat aku merasa bersyukur
karena terlahir di desa sehingga untuk mendapat buah tidaklah harus membeli. Di
depan rumahku sendiri terdapat sebatang pohon belimbing. Pohon itu sudah ada
sejak aku belum hadir di dunia ini, begitu menurut cerita nenekku. Pohon
belimbing itu sangat produktif dan tidak kenal musim. Istilahnya kalau anda
bertandang ke rumah saya, kapan pun itu, dan anda menghendaki untuk menikmati
belimbing ini maka anda tinggal memetik.
Di pohon itu dulu aku pernah menyusun beberapa papan kayu sehingga aku memiliki
tempat untuk duduk dan tiduran di atas pohon yang cukup rindang itu. Biasanya
aku akan duduk-duduk di situ sambil membaca novel saat sore hari selepas pulang
sekolah. Pernah suatu kali, aku asyik membaca sebuah novel sambil tiduran di
atas pohon itu. Tanpa sadar, aku tertidur dan ketika bangun aku sudah ada di
ujung tempat nongkrong itu sedangkan novelku sudah ada di atas tanah. Jantungku
seketika berdegup kencang, untung bukuku yang berpindah ke atas tanah dan bukan
aku. Semenjak itu aku menjadi jarang untuk duduk dan menikmati segarnya membaca
novel di antara daun-daun belimbing sambil mengunyah buah-buah belimbing
yang setengah matang.
***
“ Nenek mulai sakit-sakitan, mas!” kata adikku melalui telepon. “Kalau bisa
kamu segera pulang. Nenek ingin melihat cucu-cucunya. Siapa tahu dengan kita
semua berkumpul, nenek bisa kembali semangat dan cepat sembuh” lanjutnya.
“Baik, sabtu nanti aku pulang. Sementara ini aku bereskan dulu urusan di
kantorku” jawabku. “Ya sudah, segera ya mas. Aku mengkhawatirkan nenek. Kalau
begitu sampai bertemu besok sabtu. Salam dan doa baik, mas” sahut adikku sambil
menutup telepon.
Aku merasa canggung. Nenekku yang tinggal satu-satunya, kini terbaring sakit.
Aku merasa bersalah karena sangat jarang bertandang ke rumah. Aku lebih asyik
dengan urusan kantor. Berangkat pagi dan pulang ke kos ketika hampir larut
malam. Sebagai pegawai kelas menengah di sebuah perusahaan swasta, aku memang
berusaha untuk memberikan yang terbaik untuk kerjaku. Dengan harapan aku akan
segera dipromosikan untuk kembali naik jabatan. Oleh karena aku terlalu asyik
bekerja aku bahkan seolah- olah lupa kalau aku mempunyai seorang nenek yang
sejak aku kecil merawatku dengan sangat baik dan aku tinggalkan di rumah. Aku
lupa dengan pamitanku ketika aku akan berangkat ke kota dan tinggal di sebuah
kamar kos. Padahal ketika berpamitan dulu, aku berjanji akan sering-sering
pulang untuk mengunjungi nenek di rumah.
“
Pohon belimbing ini di tanam oleh almarhum kakek buyutmu. Pohon ini bahkan
lebih tua dari kamu. Lihat, buahnya banyak sekali dan pohon ini tidak kenal
musim. Ia selalu berbuah setiap hari. Selain itu, perhatikanlah, pohon ini
memberi bantuan kepada burung-burung yang lelah terbang untuk berteduh. Pohon
ini menjadi satu-satunnya kenangan hidup yang di wariskan oleh kakek buyutmu
kepada kita semua. Itulah kenapa nenek selalu merawat pohon ini sebaik mungkin.
Kelak kalau nenek sudah tidak ada, kamu yang harus merawat pohon ini dengan
baik. Jadikan pohon ini kenangan untuk nenek dan eyang buyutmu, walau kamu
belum pernah bertemu dan mengenal almarhum eyang buyutmu.” Cerita nenek ketika
aku kecil ini kembali berputar di kepalaku. Aku baru menyadari kalau sesungguhnya
aku sangat merindukan rumahku. Dari ingatan tentang cerita nenek, aku mulai
mengenang semua yang aku alami di rumahku. Susah senang yang aku alami. Masa
ketika aku masih kanak-kanak dan senang bermain dengan kawan-kawanku yang kini
bahkan sudah ada yang berkeluarga. Aku merindukan masa-masa itu.
Tanpa
aku sadari aku meneteskan air mata. Aku beranjak ke pintu kamar, aku kunci
pintunya. Aku tidak mau ada yang mengganggu nostalgiaku akan masa-masa
indahku. “Nenek ini semakin tua, begitu juga dengan orang tuamu. Kamu
menjadi generasi yang memanjangkan nama besar kakek buyutmu, le. Harapan nenek,
kamu menjadi orang baik dan bisa mengharumkan nama kakek buyutmu. Kamu hidup
bukan untuk dirimu sendiri. Ketika kamu melakukan sesuatu, ingatlah nama baik
keluargamu dan orang-orang yang menyayangimu. Nenek mungkin tidak akan berusia
panjang lagi. Tapi setidaknya, melihat kamu dan adikmu tumbuh besar dan menjadi
orang yang baik sudah membuat nenek bangga. Kapan pun nenek di panggil
Tuhan, nenek siap.” Kalimat nenek itu terucap pada malam terakhir aku di rumah,
setahun yang lalu, sebelum aku berangkat ke kota Jakarta ini.
***
Sewaktu aku masih kecil, nenek sering duduk memangku aku sambil berdongeng.
Terkadang nenek juga menembangkan tembang-tembang Jawa yang syahdu. Aku saat
kecil sangat senang mendengarkan nenek bercerita atau menembangkan
tembang-tembang Jawa. Biasanya aku akan duduk anteng di pangkuan beliau selama
beliau bercerita sambil mengunyah buah belimbing yang setengah matang. Sejak
dahulu aku memang menyukai buah belimbing yang setengah matang. Rasanya renyah,
manis, agak sepat dan agak masam, segar sekali.
Rasa
belimbing setengah matang yang bercampur aduk itu mengingatkanku pada hidup
ini. Belimbing setengah matang yang mengandung berbagai rasa itu yang membuat
aku menggemarinya. Begitu juga hidup ini menjadi layak untuk dihidupi karena
menyimpan berbagai rasa dari setiap momen yang terjadi. Kalau tidak ada
momen-momen pahit, atau masam, dan sepat, maka apa gunanya rasa manis? Manis
hanya akan menjadi satu-satunya rasa, dan itu pasti menjemukan.
Saat ini aku mungkin sedang berhadapan dengan momen yang menyimpan rasa masam.
Aku harus menerima kenyatan bahwa nenek yang mengasuh aku sejak kecil,
membesarkan aku di pangkuan hangatnya, mengisi hari-hariku dengan ajaran tentang
budaya dan kearifan-kearifan lokal, selalu menjadi yang pertama berlari ketika
mendengar jerit tangisku, kini sedang terbaring tak berdaya di tilamnya. Aku
ingin segera pulang bertemu dengan nenek. Kalau pun ini menjadi hari-hari
terakhir buat beliau, aku harap aku akan sempat mengucapkan permohonan maaf dan
terima kasihku untuk beliau. Tapi harapan tinggal harapan ketika bosku
menyerahkan setumpuk berkas keuangan yang harus aku audit. “Berkas-berkas ini
adalah laporan keuangan bulan ini. Sepertinya barang keluar cukup banyak dan
bisnis kita semakin well. Coba ini kamu audit, besok lusa,
selambat-lambatnya jam 10.00 WIB, kamu sudah serahkan kembali pada saya. Bisa?”
tantang beliau. Sebagai auditor paling baru, aku tak mungkin melepas kepercayaan
bosku. Aku cuma bisa menganggukkan kepalaku. Sejenak kemudian, aku hanya bisa
garuk-garuk kepala karena menyadari bahwa karena tugas ini berarti kepulanganku
akan tertunda 2 hari, minimal.
Bagaimana aku kalang kabut menyelesaikan audit keuangan yang sangat rumit dan
banyak tak perlu aku ceritakan. Intinya, pagi itu dengan mata yang mirip panda,
aku memasuki ruangan bos. Senyumnya melebar, “Nah, ini yang aku tunggu. Pegawai
dengan kerja cepat. Mana laporan hasil audit? Sudah beres toh?” Sergap bosku.
Aku mengangguk sambil tersenyum. “Bos, saya mau minta ijin. Hari ini saya mau
pulang. Nenek saya sakit. Boleh bos?” tanyaku setelah menyerahkan laporan
kepada bosku. Bosku membenarkan letak kacamatanya lalu bertanya “ berapa hari?
Cuma buat hari ini?” Aku terdiam sejenak. “Seminggu, bos.” Jawabku. Sejak
bekerja di kantor ini, inilah kali pertama aku meminta ijin untuk mangkir dari
perkerjaanku, mungkin inilah penyebab kenapa permintaan ijinku segera dipenuhi
oleh bosku. Aku sangat lega, kini yang tersisa adalah hati yang penuh harapan
untuk aku bisa bertemu nenek dalam keadaan beliau masih hidup. Aku sadar bahwa
mungkin waktu nenek tidak lama lagi. Aku bergegas pulang dan berkemas.
Malamnya, aku sudah duduk di peron kereta. Aku ambil kereta bisnis yang tidak
terlalu mahal tetapi cepat sampai. Di sampingku duduk seorang bapak tua. Entah
kenapa ia suka sekali memandangi aku berlama-lama. Aku mencoba berpikir
positif, mungkin wajahku mirip anaknya yang entah dimana dan dia rindukan. Lagi
pula, tenagaku jelas lebih besar dari tenaga bapak tua itu dan kereta ini cukup
ramai, jadi orang tua ini tidak akan berani macam-macam. “Ngger, kamu harus memilih.”
Kata orang tua itu setelah cukup lama membuat aku salah tingkah gara-gara ia
pandangi terus. “Maksud kakek?” jawabku berusaha tetap sopan. “Tumbangkan
kenangan yang tersimpan untuk menghidupkan sumber kenangan, Le.” Jawab beliau
dengan (menurutku) berbelit-belit. “Saya kok kurang paham, Kek? Maksudnya apa
ya?” Aku masih mencoba sopan, bahkan sebenarnya aku sendiri heran, dengan
kondisi seperti ini kok aku masih bisa besopan-sopan. Aku bisa saja menggampar
bapak-bapak yang sejak tadi merusak kenyamananku dan kini malah membuatku bingung.
Tapi entah kenapa aku selalu berusaha tetap sopan. “Pohon itu, Le-Cah
bagus. Pohon belimbingmu.” Jawab kakek itu yang akhirnya berkata lugas. Aku
hendak bertanya kembali tentang hubungan antara pohon belimbing dengan kenangan
dan pemberi kenangan, tetapi aku merasa pudakku diguncang-guncang seseorang.
Aku buka mata, aku kucek-kucek sebentar dan aku lihat gerbong sepi. Tempat
duduk di sampingku kosong, dan memang kosong sejak tadi. Aku tertidur dan
bermimpi rupanya. Beberapa orang yang ada sudah terlelap. Aku melihat samping,
ternyata kondektur kereta sudah berdiri di sampingku. “Tiket!” mintanya
singkat. Aku ulurkan tiketku. Sebentar kemudian tiket itu sudah berlubang dan
kembali ke kantongku. Aku menerawang ke jendelea kereta. Hamparan sawah menjadi
hitam karena gelap malam.
Aku terus memikirkan pesan kakek-kakek dalam mimpikku. Aku ingat-ingat pesan
beliau. Mendadak aku menjadi penuh harapan. Aku mengira, pohon itu adalah
kenangan yang tersimpan seperti yang di maksud kakek, aku harus menumbangkan
pohon itu agar nenek “si pemberi kenangan” bisa sembuh dan meneruskan hidupnya.
Kantukku mendadak hilang. Berganti dengan harapan yang menggebu-gebu.
Sesampainya di rumah, akan aku tebang pohon itu.
***
Hari keduaku di dusun. Aku duduk di batang pohon belimbing yang sudah aku
tebang. Hatiku berdebar-debar karena harapan yang sedemikian besar akan adanya
damapak baik setelah aku tebang pohon belimbing kesayanganku ketika kecil itu.
Aku seka peluhku. Aku pandangi batang tua pohon belimbing itu. Aku mendadak
terlempar kembali ke masa ketika aku masih kanak-kanak. Ternyata masa
kanak-kanakku bukan hanya terisi oleh aku dan nenek tetapi ada aku, nenek, dan
pohon ini. Setiap pagi aku dan nenek menyapu daun pohon belimbing yang
berserakan, setelah itu aku bersekolah. Sorenya, nenek memanjakan aku dengan
dongeng-dongen dan tembang-tembang di bawah naungan pohon itu. Aku juga ingat
ketika aku membuat sebuah tempat yang nyaman di atas pohon belimbing itu. Aku
juga ingat setiap kali aku duduk, tiduran, membaca buku di tempat nongkrongku
di pohon itu. Bahkan aku kembali teringat ketika aku membaca buku dan tertidur
sampai hampir terjatuh dari pohon itu, kejadian yang membuat aku kapok berada
di tempat nyaman itu lagi. Tak tersa, kenangan kenangan itu membuat aku merasa
bersalah telah menebangnya. Kejam sekali aku, tuduhku terhadap diriku sendiri.
Aku mencoba menenangkan diri. Ini untuk nenek. Ini demi kesembuhan nenek.
Semalam nenek di bawa ke rumah sakit. Aku dan adikku yang menghantarkan bersama
seorang tetanggaku yang memiliki mobil untuk membawa nenek. Pagi-pagi tadi aku
memang sengaja meninggalkan nenek dan adikku untuk pulang dan menebang pohon
belimbing di rumah. Sesuai dengan mimpiku di kereta. Kini aku berharap nenek
bisa segera sembuh.
“Hallo,
ada apa, ndug?” kataku menjawab telepon dari adikku. Tidak ada jawaban darinya
atas pertanyaanku. Aku hanya mendengar suara isakan. Mendadak perasaanku yang
tadi pebuh harap berubah menjadi kacau-balau. Aku takut sekaligus panik. “Dik?
Hallo, dik? Dik?” panggilku dan tetap tidak ada jawaban. “Mas, nenek mas. Nenek
sudah pulang...” Jawab adikku setelah aku panggil berkali-kali. Aku lemas,
menyadari bahwa nenek ssudah tiada. Aku memandangi pohon yang baru saja aku
tebang. Kenapa hasilnya tidak seperti yang dikatakan kakek di mimpiku? Apakah
aku salah tafsir?
Samapi
dengan nenek dikebumikan, aku tidak bisa mengerti kenapa yang terjadi tidak
sesuai tafsiran atas mimpiku, tetapi aku telah mengikhlaskan nenek. Aku terima
bahwa mimpiku saat itu ternyata hanya bunga tidur. Ini adalah hari ke tujuh
setelah nenek meninggal. Aku memang memperpanjang ijin kerjaku, dan bosku
kembali mengijinkan sambil beliau menyampaikan rasa belasungkawanya ketika
beliau melayat. Aku duduk di amben bambu di depan rumah. Semalam, aku kembali
bermimpi bahwa nenek mendatangi aku bersama kakek yang waktu itu ada dimimpiku
ketika di kereta. “Le, ini kakek buyutmu, dan ini kamu rawatlah ini. Jaga dia
seperti dulu nenek merawat yang diberikan kakek buyutmu ini” pesan nenek
dimimpiku itu. Karena itu hanya mimpi, jelas aku hanya menganggapnya
bunga tidur. Ketika asyik mengenang nenek yang hadir di mimpiku semalam,
tiba-tiba mataku melihat sesuatu yang ganjil. Di dekat bekas pohon belimbingku,
terdapat sebuah pohon kecil yang kalau aku perhatikan daunnya, tak mungkin
tidak itu adalah pohon belimbing. Kemarin pohon kecil itu tidak ada. Apa
artinya ini? Adakah kaitannya dengan mimpiku? Akh, masih terlalu cepat untuk
menyimpulkan...
Pakualaman dan Tepi Progo
***
Suatu sore, di tepi kali Progo yang indah dengan konturnya yang berkelok-kelok
di kaki pegunungan Menoreh, seorang pemuda duduk sambil memandangi air sungai
yang terus mengalir seolah enggan dipandang lama-lama. Sebatang rokok terselip
di antara jemarinya ketika sekepul asap terhembus keluar dari mulutnya. Tak
lama kemudian pemuda itu berjalan mendekati seorang bapak yang sedang termangu
memandangi pelampung pancingnya.
“Sudah dapat banyak, pak?” sapa pemuda kepada pemancing separuh baya. “Lumayan,
mas. Itu hasilnya di ember.” Jawab sang bapak sambil tersenyum. Pemuda itu
mendekat ke ember di samping pemancing, tiga ekor ikan bader sebesar telapak
tangan orang dewasa berenang berputar-putar sambil megap-megap. “Wah, mancing
berapa lama, pak bisa dapat ikan-ikan sebesar ini?” tanya si pemuda. “ Lumayan
mas, sekitar dua jam. Masnya suka mancing juga?” sahut bapak pemancing. “Suka,
pak. Tapi belum pernah mancing di sungai sebesar ini dengan arus sederas ini.
Biasanya mancing di selokan atau di kolam, pak.” Jawab si pemuda. “Kalau di
kolam itu, sembilan puluh persen pasti dapat hasil, mas. Coba sekali-sekali mas
mancing di sungai seperti ini. Mas bisa mendapat tantangan lebih sekaligus
belajar lebih banyak untuk bekal hidup, mas.” Si pemuda mengernyitkan
keningnya. Kata-kata dari bapak itu cukup mengena di hati si pemuda. “Rokok,
pak.” Kata si pemuda menawarkan rokok kretek filter kepada sang pemancing.
Bapak pemancing itu mengambil sebatang rokok lalu menyulutnya. “Terima kasih,
mas.” Ujar sang pemancing sambil mengepulkan asap dari hisapan pertama pada
rokoknya. Tak lama kedua orang itu sudah duduk berdampingan, sama-sama
memandang pelampung kail sambil terus menghisap dan mengepulkan asap rokoknya.
“ Saya tertarik dengan kata bapak tadi, pak.” Ungkap si pemuda. “ Wah? Kata
yang mana, mas?” tanya sang pemancing sedikit terkejut namun tetap santai.
“Tentang mancing dan belajar untuk bekal hidup.” Jawab si pemuda sambil
mengepulkan asap rokoknya. Sang pemancing tersenyum kemudian berkata,”Besok
sore, silakan datang lagi kesini. Bawa pancingmu, mas. Biar kali Progo ini yang
mengajarimu.” Si pemuda terdiam memandangi sang pemancing. Berbagai macam
pemikiran berputar-putar di otaknya. Sang pemancing beranjak menggulung senar
pancingnya dan berkemas, hendak menyudahi kenikmatan sore di pinggir kali ini
bersama pancing nampaknya. “ Pak, ikannya ketinggalan.” Seru si pemuda ketika
bapak itu beranjak pergi setelah berpamitan namun tanpa membawa embernya. “
Buat mas saja... Atau kalu tidak, silakan lepaskan lagi saja ikan-ikan itu...”
Jawab bapak pemancing sambil tersenyum dan melambaikan tangan.
Sore hari berikutnya, si pemuda kembali mendatangi tepi sungai Progo. Agaknya
ia cukup penasaran dengan ungkapan-ungkapan dari bapak pemancing kemarin. Sepi.
Hanya ada ember kosong milik bapak pemancing kemarin. Ia duduk di sebuah batu
yang cukup besar sambil menyulut rokoknya. Sebentar ia memandangi kali Progo
dengan arusnya yang cukup deras itu. Setelah tampak merenung sebentar, pemuda
itu menyiapkan pancingnya dan tak lama mata kailnya sudah terendam di air kali.
Pemuda itu teurs anteng, memandangi pelampung pancingnya. Berkali-kali pula ia
nampak tergesa menyentakkan kailnya. Tapi tidak ada satu pun ikan yang
tersangkut di kailnya. Satu jam, dua jam, hampir dua setengah jam berlalu.
Belum ada satu pun ikan tersangkut dalam kailnya, begitu juga dengan bapak
kemarin yang belum juga hadir. Sampai hampir senja ketika jemarinya merasakan
getaran yang berbeda dari senar pancingya, ia sentakkan sekali lagi pancingya
dan seekor ikan bader sebesar telapak tangan anak-anak menggelepar. Ia termangu
memandangi ikan itu, kecil, tak seperti yang diharapkan. Namun pemuda itu hanya
sebentar saja termangu, ia lalu tersenyum dan melepaskan ikan itu dari kailnya
dan memasukkan ikan itu kedalam ember.
Pemuda itu hanya mengangguk-angguk. Dalam hatinya ia merasa
kagum pada bapak pemancing satu ini. Luar biasa refleksinya pada hal-hal
lumrah. “Lalu, mengenai pelajaran dari kali ini, pak? Bisakah bapak menambahkan
wawasan saya soal itu?” Tanya pemuda itu mengingatkan. Bapak pemancing separuh
baya itu memandangi si pemuda sejenak. Sejenak itu pula tatapan teduhnya
menjadi terasa sangat tajam bagi si pemuda. Tak lama, bapak itu tersenyum dan
tatapannya kembali teduh. “ Saya memperhatikan mas sejak mas datang. Tadi mas
sejenak duduk di batu ini kan sebelum menyetel pancing? Apa yang mas lakukan?”
Tanya sang bapak. “Mas sedang menimbang, dengan arus sederas ini, mas akan
pakai pemberat yang mana, yang seberat apa. Itu hal pertama yang di ajarkan
oleh kali ini. Dalam hidup ini, ketika menghadapi masalah, timbang dulu. Jangan
grusa-grusu dihadapi. Jangan sampai masalah utamamu terletak pada caramu
memecahkan masalah itu.” Lanjut sang bapak tanpa menunggu respon dari si pemuda
atas pertanyaan sebelumnya. Pemuda tetap diam, menyimak dan mencerna penjelasan
dari bapak tersebut. “ Selanjutnya, ketika beberapa kali mas menyentakkan kail
tanpa hasil sampai akhirnya baru saja mas mendapatkan ikan itu, Sebenarnya mas
belajar tentang kepekaan. Mulai dari jari tanganmu, mas membedakan getaran kail
oleh arus atau tarikan ikan. Dari getaran itu dan arah goyangan pelampung mas
tahu arah pergerakan dan posisi ikan. Kemudian mas secera cepat, bahkan tanpa
sadar, mengerti harus menyentak kail ke arah mana sehingga ikan itu tersangkut
dan tidak luput.” Lanjut sang bapak dengan detail menerangkan hal-hal luar
biasa dari sekedar menarik ikan. “Yang terakhir, hal yang paling umum sudah
dipahami. Memancing itu mengajari kita bersabar. Yang namanya menanti tidak
pernah menyenangkan, apalagi yang mas nantikan ini hal yang tidak tentu. Namun
selama harapan masih ada, semua akan menjadi seperti rokok kretek tadi, tidak
akan menjadi sia-sia. Sampai sini apakah mas mengerti?” sang bapak mengakhiri
penjelasannya. Si pemuda hanya mampu mengangguk lemah, ia tak pernah menyadari
hal luar biasa yang selama ini bisa ia pelajari dari memancing yang sudah lama
ia gemari. “ Saya suka semangat belajarmu, mas. Teruslah seperti itu. Mari kita
pulang... Sudah hampir maghrib. Eh, Ngomong- ngomong, kenapa mas suka
memandangi kali Progo ini?” tanya sang bapak sambil mereka berjalan beriringan
meninggalkan tepi sungai setelah sebelumnya melepaskan bader kecil dalam ember.
“Orang yang saya sayangi menyukai keindahan kali Progo ini, pak. Saya berharap
suatu saat kami bisa memadangi kali Progo ini berdua, walau itu hampr tak
mungkin.” Jawab si pemuda.
***
“Kopi panas dan pahit?” tanya pemilik angkringan di dekat
pohon besar di muka Pakualaman. “Wah, nampaknya bapak sudah hafal dengan
pesanan saya. Sama rokoknya satu ya, pak. Kali ini rokoknya yang kretek saja.
Biar mantap” jawab pemuda sambil tersenyum. “Wah, tumben ini pengen yang
mantap. Eh, mas. Kalau boleh tahu mas itu aslinya mana kok sering banget mampir
di sini? Padahal kalau orang sekitar sini, rasanya saya jarang melihat mas,
kecuali pas mampir kesini.” Tanya pemilik angkringan. “Saya ini dari Godean,
pak.” Jawab si pemuda sambil menerima kopi panasnya dan mengepulkan asap rokok
kreteknya. “ weh, kok jauh ternyata. Lha mas ini ngekos di sekitar sini apa
gimana?” Lanjut sang pemilik angkringan. “Tidak kok, pak. Tapi saya suka main
kesini. Ada harapan yang mungkin tidak akan tercapai di sini.” Jawab pemuda
itu. “Skak-Ster!” Seru seorang bapak yang asyik bermain catur. “ Mas, dengar
itu tadi? Skak-Ster, mas.” Tanya pemilik angkringan. “Iya, saya dengar. Terus
kenapa, pak?” jawab si pemuda. “Skak-Ster, itu pamungkas dalam catur mas.
Menghasilkan keuntungan yang besar. Tapi mas, sebelum skakmat, pertandingan
belum usai. Mas juga begitu. Mas bilang mungkin harapan, mas tidak mungkin
tercapai. Tapi selama mas masih berharap dan mau berikhtiar dengan setia kesini,
semua masih mungkin mas. Belum skakmat, lho itu.” Papar pemilik angkringan.
Luar biasa. Entah itu tulus untuk memberi pemuda itu semangat, atau sekedar
memancing agar pemuda itu mau terus datang setiap sore untuk membeli kopi pahit
dengan harga yang sama dengan kopi manisnya sehingga ia bisa mengambil untung
lebih dari penghematan gula. Namun bagi si pemuda kata-kata itu luar biasa.
“Lha emang apa toh harapannya, mas?” tanya pemilik angkringan. Pemuda itu
tersenyum. Dalam hati pemuda itu mengakui keJawaan pemilik angkringan yang
memberikan perhatian dengan pertanyaan-pertanyaan yang bahkan nampak personal.
“Saya menantikan seorang gadis dari daerah Bintaran ini, pak. Berharap bisa
bertemu, tapi entah.” Jawab si pemuda. “Woalah, sabar mas. Belum skakmat” sahut
pemilik angkringan dengan candanya.
Di Pakualaman dan tepi kali Progo, pemuda itu merasa belajar
banyak hal yang tak pernah ia pikirkan sebelumnya. Belajar dari hal-hal
sederhana dan bimbingan orang-orang sederhana yang luar biasa. Sekali ia tarik
hisapan panjang pada rokok kreteknya. “Mas, sudah baca koran?” Tanya pemilik
angkringan seraya memberikan sebuah koran harian lokal kepada si pemuda.
“Belum, kenapa?” tanya pemuda seraya menerima koran dari pemilik angkringan. Di
headline tertulis berita tentang penemuan jenasah korban tenggelam di kali
Progo seminggu yang lalu. “Mas kan orang Godean, dekat dengan lokasi berita
itu.” Jawab pemilik angkringan sambil menunjukan berita yang menjadi headline
koran. Pemuda itu memandangi foto korban. Sebentar kemudian ia terkejut. “Pak,
orang di foto ini baru saja mancing bersama saya di kali Progo kemarin
sore....”
Yogyakarta,
09 Maret 2015
Asu
Gunung
Nb: Karya ini pernah dimuat dalam website https://sudutkantin.com/
Kamis, 05 Juni 2025
Biru
Baiknya kita bergegas
berkemas dan membawa pulang semua
hutang- hutang rasa yang telah kau paksa lunas
Pada pamitan yang pamungkas
kau jinjing tas kisah lama
yang tak seberapa besar lagi tak penuh itu
Ragamu perlahan dan pasti menjauh
mengabur dari pandang
suara lirih senandungmu diterkam sunyi
Aku kembali masuk ruang yang kosong
dan ternyata, kau lupa membawa kisah kecil
yang dulu kita rawat hidupi bersama
Kau lupa memasukkan kisah kecil itu
dan kau terburu waktu
berlari mengejar biru....
Bekasi, 05 Juni 2025
Asu Gunung
Senin, 02 Juni 2025
Sepanjang Bakauheni- Merak
Kepada kawan sejalan
Di tepian pagar kapal
lepas Bakauheni
Batang- batang rokok
menemani kembali pada masa yang berlalu
Cerita dibarter dengan cerita
kisah ditukar dengan kisah
dan tawa sama- sama dibagi rata
hingga terik tak lagi peduli
Jangan mati dahulu, penutur cerita
telingaku masih ingin menerima banyak kisahmu
langgengkan hidupmu, bung
masih banyak gelas- gelas kopi yang belum terisi
sediakan ceritamu menjadi isinya
Dan pada suatu saat nanti
cerita- cerita ini yang akan kita wariskan
kepada pemuda- pemuda pemilik masa
Bahwa laut telah diseberangi
Andalas telah disambangi
dan hari dimenangi...
Bekasi, 3 Juni 2025
Asu Gunung
Kamis, 22 Mei 2025
LAWU
Seperti yang aku dan kau juga tahu
puncak yang aku pijak bukan tanah tertinggi
di hampar ilalang luas di bawah Hargo Dumilah
Aku menziarahi kenangan- kenangan yang bersemayam
di balik dinginnya halimun gunung Lawu
Di antara jerit wanara tua
kita menikam kesunyian
ku panggil- panggil setiap harapan lama
yang bersemayam dalam sepi luas savana
Setiap tapak langkah satu- satu
menghantarkan kembali waktu yang lalu
menyelipkan doa- doa khusuk
di balik keras tajamnya batu- batu Cemara Sewu
Dan di sepanjang punggung Lawu
dalam perjalanan sunyi dahulu
namamu yang selalu menjadi syafaatku
Lawu... Lawu..
Pada nadimu aku titipkan rindu
yang tak pernah mengalir sampai ke hulu
Kranji, 14 Mei 2025
Asu Gunung
Jejak Ranting Cemara
Sebelum cahaya pertama menyapa sudah kita kemasi semua segala kenangan dan rasa tanpa tertinggal satu juga Langkah kita tak lagi ringan ter...
-
Sepasang mata bocah itu memandangku penuh isyarat lalu tawanya mengembang lebar tanganku dipinangnya sampai pula di ladang buana Anak itu me...
-
Bus malam berjalan cepat menembus gelapnya jalanan Solo-Jogja di malam berkabut itu. Bus malam yang hanya beri...




