***
Suatu sore, di tepi kali Progo yang indah dengan konturnya yang berkelok-kelok
di kaki pegunungan Menoreh, seorang pemuda duduk sambil memandangi air sungai
yang terus mengalir seolah enggan dipandang lama-lama. Sebatang rokok terselip
di antara jemarinya ketika sekepul asap terhembus keluar dari mulutnya. Tak
lama kemudian pemuda itu berjalan mendekati seorang bapak yang sedang termangu
memandangi pelampung pancingnya.
“Sudah dapat banyak, pak?” sapa pemuda kepada pemancing separuh baya. “Lumayan,
mas. Itu hasilnya di ember.” Jawab sang bapak sambil tersenyum. Pemuda itu
mendekat ke ember di samping pemancing, tiga ekor ikan bader sebesar telapak
tangan orang dewasa berenang berputar-putar sambil megap-megap. “Wah, mancing
berapa lama, pak bisa dapat ikan-ikan sebesar ini?” tanya si pemuda. “ Lumayan
mas, sekitar dua jam. Masnya suka mancing juga?” sahut bapak pemancing. “Suka,
pak. Tapi belum pernah mancing di sungai sebesar ini dengan arus sederas ini.
Biasanya mancing di selokan atau di kolam, pak.” Jawab si pemuda. “Kalau di
kolam itu, sembilan puluh persen pasti dapat hasil, mas. Coba sekali-sekali mas
mancing di sungai seperti ini. Mas bisa mendapat tantangan lebih sekaligus
belajar lebih banyak untuk bekal hidup, mas.” Si pemuda mengernyitkan
keningnya. Kata-kata dari bapak itu cukup mengena di hati si pemuda. “Rokok,
pak.” Kata si pemuda menawarkan rokok kretek filter kepada sang pemancing.
Bapak pemancing itu mengambil sebatang rokok lalu menyulutnya. “Terima kasih,
mas.” Ujar sang pemancing sambil mengepulkan asap dari hisapan pertama pada
rokoknya. Tak lama kedua orang itu sudah duduk berdampingan, sama-sama
memandang pelampung kail sambil terus menghisap dan mengepulkan asap rokoknya.
“ Saya tertarik dengan kata bapak tadi, pak.” Ungkap si pemuda. “ Wah? Kata
yang mana, mas?” tanya sang pemancing sedikit terkejut namun tetap santai.
“Tentang mancing dan belajar untuk bekal hidup.” Jawab si pemuda sambil
mengepulkan asap rokoknya. Sang pemancing tersenyum kemudian berkata,”Besok
sore, silakan datang lagi kesini. Bawa pancingmu, mas. Biar kali Progo ini yang
mengajarimu.” Si pemuda terdiam memandangi sang pemancing. Berbagai macam
pemikiran berputar-putar di otaknya. Sang pemancing beranjak menggulung senar
pancingnya dan berkemas, hendak menyudahi kenikmatan sore di pinggir kali ini
bersama pancing nampaknya. “ Pak, ikannya ketinggalan.” Seru si pemuda ketika
bapak itu beranjak pergi setelah berpamitan namun tanpa membawa embernya. “
Buat mas saja... Atau kalu tidak, silakan lepaskan lagi saja ikan-ikan itu...”
Jawab bapak pemancing sambil tersenyum dan melambaikan tangan.
Sore hari berikutnya, si pemuda kembali mendatangi tepi sungai Progo. Agaknya
ia cukup penasaran dengan ungkapan-ungkapan dari bapak pemancing kemarin. Sepi.
Hanya ada ember kosong milik bapak pemancing kemarin. Ia duduk di sebuah batu
yang cukup besar sambil menyulut rokoknya. Sebentar ia memandangi kali Progo
dengan arusnya yang cukup deras itu. Setelah tampak merenung sebentar, pemuda
itu menyiapkan pancingnya dan tak lama mata kailnya sudah terendam di air kali.
Pemuda itu teurs anteng, memandangi pelampung pancingnya. Berkali-kali pula ia
nampak tergesa menyentakkan kailnya. Tapi tidak ada satu pun ikan yang
tersangkut di kailnya. Satu jam, dua jam, hampir dua setengah jam berlalu.
Belum ada satu pun ikan tersangkut dalam kailnya, begitu juga dengan bapak
kemarin yang belum juga hadir. Sampai hampir senja ketika jemarinya merasakan
getaran yang berbeda dari senar pancingya, ia sentakkan sekali lagi pancingya
dan seekor ikan bader sebesar telapak tangan anak-anak menggelepar. Ia termangu
memandangi ikan itu, kecil, tak seperti yang diharapkan. Namun pemuda itu hanya
sebentar saja termangu, ia lalu tersenyum dan melepaskan ikan itu dari kailnya
dan memasukkan ikan itu kedalam ember.
Pemuda itu hanya mengangguk-angguk. Dalam hatinya ia merasa
kagum pada bapak pemancing satu ini. Luar biasa refleksinya pada hal-hal
lumrah. “Lalu, mengenai pelajaran dari kali ini, pak? Bisakah bapak menambahkan
wawasan saya soal itu?” Tanya pemuda itu mengingatkan. Bapak pemancing separuh
baya itu memandangi si pemuda sejenak. Sejenak itu pula tatapan teduhnya
menjadi terasa sangat tajam bagi si pemuda. Tak lama, bapak itu tersenyum dan
tatapannya kembali teduh. “ Saya memperhatikan mas sejak mas datang. Tadi mas
sejenak duduk di batu ini kan sebelum menyetel pancing? Apa yang mas lakukan?”
Tanya sang bapak. “Mas sedang menimbang, dengan arus sederas ini, mas akan
pakai pemberat yang mana, yang seberat apa. Itu hal pertama yang di ajarkan
oleh kali ini. Dalam hidup ini, ketika menghadapi masalah, timbang dulu. Jangan
grusa-grusu dihadapi. Jangan sampai masalah utamamu terletak pada caramu
memecahkan masalah itu.” Lanjut sang bapak tanpa menunggu respon dari si pemuda
atas pertanyaan sebelumnya. Pemuda tetap diam, menyimak dan mencerna penjelasan
dari bapak tersebut. “ Selanjutnya, ketika beberapa kali mas menyentakkan kail
tanpa hasil sampai akhirnya baru saja mas mendapatkan ikan itu, Sebenarnya mas
belajar tentang kepekaan. Mulai dari jari tanganmu, mas membedakan getaran kail
oleh arus atau tarikan ikan. Dari getaran itu dan arah goyangan pelampung mas
tahu arah pergerakan dan posisi ikan. Kemudian mas secera cepat, bahkan tanpa
sadar, mengerti harus menyentak kail ke arah mana sehingga ikan itu tersangkut
dan tidak luput.” Lanjut sang bapak dengan detail menerangkan hal-hal luar
biasa dari sekedar menarik ikan. “Yang terakhir, hal yang paling umum sudah
dipahami. Memancing itu mengajari kita bersabar. Yang namanya menanti tidak
pernah menyenangkan, apalagi yang mas nantikan ini hal yang tidak tentu. Namun
selama harapan masih ada, semua akan menjadi seperti rokok kretek tadi, tidak
akan menjadi sia-sia. Sampai sini apakah mas mengerti?” sang bapak mengakhiri
penjelasannya. Si pemuda hanya mampu mengangguk lemah, ia tak pernah menyadari
hal luar biasa yang selama ini bisa ia pelajari dari memancing yang sudah lama
ia gemari. “ Saya suka semangat belajarmu, mas. Teruslah seperti itu. Mari kita
pulang... Sudah hampir maghrib. Eh, Ngomong- ngomong, kenapa mas suka
memandangi kali Progo ini?” tanya sang bapak sambil mereka berjalan beriringan
meninggalkan tepi sungai setelah sebelumnya melepaskan bader kecil dalam ember.
“Orang yang saya sayangi menyukai keindahan kali Progo ini, pak. Saya berharap
suatu saat kami bisa memadangi kali Progo ini berdua, walau itu hampr tak
mungkin.” Jawab si pemuda.
***
“Kopi panas dan pahit?” tanya pemilik angkringan di dekat
pohon besar di muka Pakualaman. “Wah, nampaknya bapak sudah hafal dengan
pesanan saya. Sama rokoknya satu ya, pak. Kali ini rokoknya yang kretek saja.
Biar mantap” jawab pemuda sambil tersenyum. “Wah, tumben ini pengen yang
mantap. Eh, mas. Kalau boleh tahu mas itu aslinya mana kok sering banget mampir
di sini? Padahal kalau orang sekitar sini, rasanya saya jarang melihat mas,
kecuali pas mampir kesini.” Tanya pemilik angkringan. “Saya ini dari Godean,
pak.” Jawab si pemuda sambil menerima kopi panasnya dan mengepulkan asap rokok
kreteknya. “ weh, kok jauh ternyata. Lha mas ini ngekos di sekitar sini apa
gimana?” Lanjut sang pemilik angkringan. “Tidak kok, pak. Tapi saya suka main
kesini. Ada harapan yang mungkin tidak akan tercapai di sini.” Jawab pemuda
itu. “Skak-Ster!” Seru seorang bapak yang asyik bermain catur. “ Mas, dengar
itu tadi? Skak-Ster, mas.” Tanya pemilik angkringan. “Iya, saya dengar. Terus
kenapa, pak?” jawab si pemuda. “Skak-Ster, itu pamungkas dalam catur mas.
Menghasilkan keuntungan yang besar. Tapi mas, sebelum skakmat, pertandingan
belum usai. Mas juga begitu. Mas bilang mungkin harapan, mas tidak mungkin
tercapai. Tapi selama mas masih berharap dan mau berikhtiar dengan setia kesini,
semua masih mungkin mas. Belum skakmat, lho itu.” Papar pemilik angkringan.
Luar biasa. Entah itu tulus untuk memberi pemuda itu semangat, atau sekedar
memancing agar pemuda itu mau terus datang setiap sore untuk membeli kopi pahit
dengan harga yang sama dengan kopi manisnya sehingga ia bisa mengambil untung
lebih dari penghematan gula. Namun bagi si pemuda kata-kata itu luar biasa.
“Lha emang apa toh harapannya, mas?” tanya pemilik angkringan. Pemuda itu
tersenyum. Dalam hati pemuda itu mengakui keJawaan pemilik angkringan yang
memberikan perhatian dengan pertanyaan-pertanyaan yang bahkan nampak personal.
“Saya menantikan seorang gadis dari daerah Bintaran ini, pak. Berharap bisa
bertemu, tapi entah.” Jawab si pemuda. “Woalah, sabar mas. Belum skakmat” sahut
pemilik angkringan dengan candanya.
Di Pakualaman dan tepi kali Progo, pemuda itu merasa belajar
banyak hal yang tak pernah ia pikirkan sebelumnya. Belajar dari hal-hal
sederhana dan bimbingan orang-orang sederhana yang luar biasa. Sekali ia tarik
hisapan panjang pada rokok kreteknya. “Mas, sudah baca koran?” Tanya pemilik
angkringan seraya memberikan sebuah koran harian lokal kepada si pemuda.
“Belum, kenapa?” tanya pemuda seraya menerima koran dari pemilik angkringan. Di
headline tertulis berita tentang penemuan jenasah korban tenggelam di kali
Progo seminggu yang lalu. “Mas kan orang Godean, dekat dengan lokasi berita
itu.” Jawab pemilik angkringan sambil menunjukan berita yang menjadi headline
koran. Pemuda itu memandangi foto korban. Sebentar kemudian ia terkejut. “Pak,
orang di foto ini baru saja mancing bersama saya di kali Progo kemarin
sore....”
Yogyakarta,
09 Maret 2015
Asu
Gunung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar