Djenar, ibuku memberikan nama ini kepadaku delapan belas tahun yang lalu. Menurut ibuku, Djenar berarti kuning. Aku sendiri awalnya tidak begitu mengerti kenapa aku diberi nama yang artinya kuning. Ketika aku berusia dua belas tahun, sepuluh tahun yang lalu, aku bertanya kepada ibu mengapa aku memiliki nama yang artinya “kuning”. Ibuku menjelaskan bahwa ketika aku masih di dalam kandungan, mendekati saat aku lahir, ibuku tiba-tiba menyukai benda-benda yang berwarna kuning. Bahkan pakaian-pakaian yang ibu gunakan selalu mengandung unsur kuning, kalau sampai kehabisan pakaian yang mengandung corak berwarna kuning maka ibu bisa saja sewot selama seharian penuh. Itulah kenapa ketika aku terlahir, ibuku menyisipkan nama Djenar dalam deretan namaku.
Agni, nama ini disematkan oleh bapakku. Agni menurut bapak berarti api.
Rupanya, bapak maupun ibu menyumbang satu nama untukku. Kalau ibu menghadiahkan
nama Djenar, bapakku menyematkan nama Agni. Menurut bapak, nama seorang
anak laki-laki harus gagah dan berwibawa. Nama seorang laki-laki tidak boleh
lembek karena kepribadian si anak dipengaruhi oleh namanya. Bapakku memberi
nama yang berarti api untukku dengan harapan aku selalu penuh semangat, berjiwa
yang selalu berkobar-kobar, dan tidak pernah tersesat dalam menjalani
hidup karena aku memiliki penerang dalam namaku. Bapakku selalu mendidik aku
dengan keras. Menjadi laki-laki harus kuat menurut beliau. Apabila tidak cukup
tangkas, lebih baik aku tidak menjadi laki-laki.
Bagi aku sendiri, namaku hanyalah sebuah nama. Entah aku diberi nama yang
berarti kuning, merah, hijau, ataupun biru dan nama yang berarti api, air,
tanah, dan atau angin, aku sama sekali tidak memandang hal ini sebagai sesuatu
yang layak untuk aku pikirkan. Hal yang sebenarnya cukup layak untuk
diperhatikan bukan terletak pada nama itu melainkan pada harapan-harapan yang
menyertai setiap nama-nama. Bapakku adalah seorang polisi. Beliau cukup
keras dalam mendidikku. Seperti yang aku ungkapkan sebelumnya, baginya seorang
laki-laki yang tidak kuat dan tangkas lebih baik tidak menjadi laki-laki.
Komandan Iswahyudi, begitu biasanya para tetangga memanggil bapakku. Ibuku
adalah seorang ibu rumah tangga yang baik. Ia juga seorang penjahit. Jahitan ibuku
dikenal cukup baik, tak heran kalau banyak yang menjadi pelanggannya.
***
“Kenapa bibirmu bonyok macam itu, Nar?” tanya Jati, teman sekelasku, ketika aku
tiba di sekolah pagi itu. Aku hanya diam, pertanyaan dari Jati hanya aku jawab
dengan senyum kecil yang sedikit aku paksakan. “Nar, kalau ada masalah kamu
bisa cerita ke aku. Kita berkawan sudah lama, sejak kita sama-sama masih
kanak-kanak sampai kita kelas dua SMA begini. Apa kau masih belum bisa percaya
sama aku?” Jati kembali bertanya. Karena aku merasa memang tidak bisa lari lagi
dari pertanyaan-pertanyaan Jati, akhirnya aku memutuskan untuk menjawabnya.
“Kamu tahu perempatan di ujung kampung itu kan? Kemarin sore, ketika aku pulang
dari rumahmu itu, aku di cegat preman. Mereka bermaksud memalak uangku tapi
karena uangku cuma tinggal sepuluh ribu, mereka menghajar aku seperti ini.”
Jelasku pada Jati. Untuk sejenak Jati terdiam, aku mengira nampaknya jawabanku
akan bisa ia terima. Namun ternyata aku salah, Jati masih kurang percaya dengan
jawabanku. “ Ish, ada preman berani malak anak komendan Iswahyudi yang kondang
itu? Aku kok kurang ngandhel.” Ujar Jati. Aku hanya menjawab bahwa
apapun yang ia kira, mau percaya atau tidak tetapi memang itulah faktanya.
Akhirnya mau tidak mau, Jati menerima jawabanku. Atau mungkin sebenarnya bel
mulai pelajaran yang menyelamatkanku. Andai bel itu belum berbunyi, mungkin
sebenarnya Jati masih akan bertanya macam-macam hal kepadaku. Untung bel itu
segera berbunyi sehingga kami bergegas masuk ke kelas.
Mengingat keraguan dari Jati, sebenarnya keraguan itu tidak sepenuhnya salah.
Aku memang dihajar preman. Namun preman itu bukan preman di perempatan ujung
kampungku. Preman itu menghajar aku di ruang tamu rumahku. Preman bertubuh
kekar, berseragam polisi dengan pangkat komandan. Ya, preman itu adalah bapakku
sendiri, komandan Iswahyudi yang sangat terpandang di kampungku.
Bagi warga kampungku, komandan Iswahyudi adalah seorang polisi yang luar biasa
dan lain daripada yang lain. Mereka semua memandang sosok komandan Iswahyudi
sebagai pengayom dan pelayan masyarakat yang sangat baik. Memang tidak jarang
bapakku membantu tetanggaku dalam urusan-urusan hukum seperti membuat SIM dan
lain-lain. Bapak juga tidak pernah lalai ikut ronda, asalkan dia tidak sedang
berdinas. Ketika ada hajatan, bapak selalu hadir dan membantu yang punya
hajatan. Luar biasa memang peranan bapakku di masyarakat kampungku. Wajar bila
warga kampungku memandang sosok bapak sebagai komendan polisi yang baik, tegas,
dan santun.
Sayangnya, itu hanya terjadi ketika di luar rumah kami. Begitu bapak memasuki
pintu rumah kami, dia bukan lagi seorang komendan polisi yang baik dan santun.
Ia tak ubahnya seorang monster yang siap menelan apapun yang ia jumpai.
Jangankan menjadi pengayom, justru ketentraman di rumahku berantakan ketika ia
ada di rumah ini. Bibir bonyokku ini menjadi salah satu buktinya. Pandangan
warga kampungku terhadap bapak tak lebih dari sekedar tai kucing. Mereka
memuja-muja kebaikan bapak yang menurutku artificial, sangat dibuat-buat.
Mereka bisa menganggap bapak baik dan santun, jelas mereka bisa mengira seperti
itu karena mereka belum pernah mencicipi kerasnya sol sepatu dinas bapak.
***
“Agni Djenar, berapa tahun kau belajar membuat kopi, heh?” Bentak bapak pagi
itu. Sebelumnya aku bapak memang memintaku untuk menyeduhkan kopi baginya, aku
yang baru beranjak dari tilam pun segera membuatkan kopi yang menjadi penyebab
bentakan pagi itu muncul. “Djenar, sini kamu! Dasar kunyuk...” teriak bapakku
dari ruang tamu. Dengan enggan aku datangi dia. Aku tau setidaknya aku akan
sarapan dengan makian dan tempelengan dari monster berseragam itu. Tapi kalau
aku tidak datang, seisi rumah bisa jadi korban amukkannya. “Cepat, jalannya,
kambing! Jalan dari dapur ke ruang tamu saja lambat sekali kau! Sini, cepat!”
Teriaknya lagi, aku mempercepat langkahku. Begitu aku sampai di dekatnya, ia
segera menarik lenganku dan kemudian memiting kepalaku. Ia jejalkan gelas
kopinya, “Nih, cicipi kopi buatanmu! Ini kopi atau seduhan gula, heh?”
perlakuan kasar seperti ini bukan yang pertama bagiku. Ini sudah menjadi
semacam makanan sehari-hari buatku. Kalau sudah seperti ini aku cuma bisa diam,
mengumpat dalam hati.
Kejadian pagi itu yang membuat bibirku akhirnya harus memar dan membuat aku
menjadi seorang pembohong di hadapan Jati. Aku tahu berbohong itu tidak baik.
Tapi, kalau pun aku ceritakan yang sebenarnya, Jati juga tidak akan percaya.
Dia akan lebih tidak mempercayai kejujuranku daripada kebohonganku kepadanya
pagi itu. Aku cuma tidak mau cerita panjang lebar, dan ujung-ujungnya aku tidak
dipercayai juga. Lebih baik berbohong sedikit, tapi bisa segera menghentikan
serangan pertanyaan dari orang-orang seperti Jati ini.
***
Ibu sudah pergi ke pasar ketika aku bangun tidur pagi itu. Praktis di rumah
hanya ada aku dan bapak. Agak enggan sebenarnya aku keluar dari kamar, namun
berdiam lama-lama di kamar hanya akan menjadi bahan bagi munculnya kemarahan
bapak. Ia akan mencap aku sebagai pemalas dan lelaki yang lembek. Mau tidak mau
aku keluar dari kamarku. Bapak sedang duduk disalah satu kursi di ruang makan.
Ia menikmati sarapannya.
Aku terus berjalan menuju kamar mandi. Tak ada kata, tak ada sapa dari bapak
untuk aku atau pun dari aku untuk bapak. Agak aneh sebenarnya karena pagi ini
ia nampak kalem. Aku tidak tahu harus bersyukur atau curiga terhadap situasi
langka seperti ini. “Nar, bapak berangkat kantor dulu. Jangan lupa beres-beres
rumah, jangan main melulu mentang-mentang hari minggu.” Pamit bapak. Aku hanya
menjawab singkat, “Ya”. Ajaib, pikirku. Tidak ada bentakkan dari bapak
mengawali hari ini.
Selesai mandi, ketika hendak mengambil sarapan, mataku menangkap sesuatu yang
janggal. Di meja makan tergeletak sesuatu yang tak asing. Benda hitam
berbungkus itu biasanya tergantung di pinggang bapak. Biasanya benda itu tidak
pernah lepas dari pingganggnya. Bagaimana bisa hari ini, bedil mungil ini
tergeletak di meja makan, ditinggalkan oleh empunya? Aku letakkan kembali
piringku. Aku urungkan niat mengambil nasi. Tanganku lebih tergoda untuk
merengkuh bedil bapak ini. Aku amati bedil itu, aku nikmati moment itu.
Ternyata nyaman sekali ketika tanganmu menggenggam sebuah bedil. Aku bawa bedil
itu ke kamarku. Aku selipkan di bawah kasurku. Aku hanya meletakaannya begitu
saja. Aku bahkan tak tau mau aku apakan bedil ini. Mengembalikan kepada bapak?
Rasanya sayang sekali melepaskan kemegahan yang sudah dalam genggaman, bukan?
Jadi mengembalikan kepada bapak menjadi sebuah hal yang akan aku pikirkan
paling terakhir, setelah aku benar-benar puas dan tak tahu mau aku apakan lagi
bedil ini.
“Nar, kamu sudah sarapan, Le?” tanya ibu ketika pulang dari pasar. “Belum...”
jawabku dari dalam kamar. “Ini sarapan dulu. Ibu belikan mie kuning
kesukaanmu.” Panggil ibu. Aku beranjak dari kamarku. Belum sempat aku mengambil
piring, terdengar suara pitu dibuka dengan kasar. Bapak masuk dengan muka
merah, nampak sangat emosional. Ia segera menuju meja makan. Aku langsung tahu
tujuannya, ia pasti mencari bedilnya. “Nar, kau lihat bedil bapak?” tanya bapak
dengan kasar. “tidak, pak.” Jawabku singkat. “ Heh, jangan bohong kamu! Tadi
bapak taruh meja makan. Cuma ada kamu dan bapak tadi yang di rumah!” Sahutnya
sambil membentak dan menamparku. Mendengar suara ribut dan suara bapak
membentak, ibu keluar dari dapur. “Ada apa, pak?” tanya ibu lembut tapi tak
bisa menyembunyikan rasa paniknya. “Ini, anakmu ini sudah belajar menipu!
Gara-gara kau selalu memanjakannya, ia jadi anak yang tidak jujur.” Tukas
bapak. “Tidak jujur bagaimana toh, pak? Tidak mungin Djenar menjadi pembohong,
pak. Senakal-nakalnya Djenar, ia anak yang jujur” tanya ibu kaget. “Kamu berani
membela anak setan itu?” bentak bapak. Hatiku sakit mendengar bentakkan itu.
Boleh bapak membentak, menampar, memukuli aku tapi jangan pada ibu. Satu
bentakkan terhadap ibu, seperti seribu peluru bedil bapak menghujam telinga dan
hatiku. Aku beringsut menuju kamar. Aku menangis di dalam kamarku. Sementara di
ruang makan, ibu masih memaki-maki ibu. “Ampun, pak... Ampun.. Iya, pak. Aku
ngaku salah. Ampuuuuun...” ratapan ibu semakin menusuk hatiku. “Pak, bedilmu
ada di sini” kataku yang sudah tepat di belakang punggung bapak dengan bedil
yang juga sudah terarah tepat ke dadanya. “Naar, jangan... Ingat, le dia itu
bapakmu... Jangan nekat, Le!” kata ibu sambil terus menangis. Tapi terlambat,
“Dooor..” sebuah peluru telah termuntahkan. Bapak mengerang sambil terjatuh.
Ibu tergopoh-gopoh mendatangi bapak. Ia terus menangis sambil memanggil-manggil
bapak. Beberapa detik kemudian, “ Door... Door...” terdengar kembali suara
bedil bapak berdentum dua kali...
Yogyakarta,
08 Maret 2015
Asu Gunung
Djenar, ibuku memberikan nama ini kepadaku delapan belas tahun yang lalu.
Menurut ibuku, Djenar berarti kuning. Aku sendiri awalnya tidak begitu mengerti
kenapa aku diberi nama yang artinya kuning. Ketika aku berusia dua belas tahun,
sepuluh tahun yang lalu, aku bertanya kepada ibu mengapa aku memiliki nama yang
artinya “kuning”. Ibuku menjelaskan bahwa ketika aku masih di dalam kandungan,
mendekati saat aku lahir, ibuku tiba-tiba menyukai benda-benda yang berwarna
kuning. Bahkan pakaian-pakaian yang ibu gunakan selalu mengandung unsur kuning,
kalau sampai kehabisan pakaian yang mengandung corak berwarna kuning maka ibu
bisa saja sewot selama seharian penuh. Itulah kenapa ketika aku terlahir, ibuku
menyisipkan nama Djenar dalam deretan namaku.
Agni, nama ini disematkan oleh bapakku. Agni menurut bapak berarti api.
Rupanya, bapak maupun ibu menyumbang satu nama untukku. Kalau ibu menghadiahkan
nama Djenar, bapakku menyematkan nama Agni. Menurut bapak, nama seorang
anak laki-laki harus gagah dan berwibawa. Nama seorang laki-laki tidak boleh
lembek karena kepribadian si anak dipengaruhi oleh namanya. Bapakku memberi
nama yang berarti api untukku dengan harapan aku selalu penuh semangat, berjiwa
yang selalu berkobar-kobar, dan tidak pernah tersesat dalam menjalani
hidup karena aku memiliki penerang dalam namaku. Bapakku selalu mendidik aku
dengan keras. Menjadi laki-laki harus kuat menurut beliau. Apabila tidak cukup
tangkas, lebih baik aku tidak menjadi laki-laki.
Bagi aku sendiri, namaku hanyalah sebuah nama. Entah aku diberi nama yang
berarti kuning, merah, hijau, ataupun biru dan nama yang berarti api, air,
tanah, dan atau angin, aku sama sekali tidak memandang hal ini sebagai sesuatu
yang layak untuk aku pikirkan. Hal yang sebenarnya cukup layak untuk
diperhatikan bukan terletak pada nama itu melainkan pada harapan-harapan yang
menyertai setiap nama-nama. Bapakku adalah seorang polisi. Beliau cukup
keras dalam mendidikku. Seperti yang aku ungkapkan sebelumnya, baginya seorang
laki-laki yang tidak kuat dan tangkas lebih baik tidak menjadi laki-laki.
Komandan Iswahyudi, begitu biasanya para tetangga memanggil bapakku. Ibuku
adalah seorang ibu rumah tangga yang baik. Ia juga seorang penjahit. Jahitan
ibuku dikenal cukup baik, tak heran kalau banyak yang menjadi pelanggannya.
***
“Kenapa bibirmu bonyok macam itu, Nar?” tanya Jati, teman sekelasku, ketika aku
tiba di sekolah pagi itu. Aku hanya diam, pertanyaan dari Jati hanya aku jawab
dengan senyum kecil yang sedikit aku paksakan. “Nar, kalau ada masalah kamu
bisa cerita ke aku. Kita berkawan sudah lama, sejak kita sama-sama masih
kanak-kanak sampai kita kelas dua SMA begini. Apa kau masih belum bisa percaya
sama aku?” Jati kembali bertanya. Karena aku merasa memang tidak bisa lari lagi
dari pertanyaan-pertanyaan Jati, akhirnya aku memutuskan untuk menjawabnya.
“Kamu tahu perempatan di ujung kampung itu kan? Kemarin sore, ketika aku pulang
dari rumahmu itu, aku di cegat preman. Mereka bermaksud memalak uangku tapi
karena uangku cuma tinggal sepuluh ribu, mereka menghajar aku seperti ini.”
Jelasku pada Jati. Untuk sejenak Jati terdiam, aku mengira nampaknya jawabanku
akan bisa ia terima. Namun ternyata aku salah, Jati masih kurang percaya dengan
jawabanku. “ Ish, ada preman berani malak anak komendan Iswahyudi yang kondang
itu? Aku kok kurang ngandhel.” Ujar Jati. Aku hanya menjawab bahwa
apapun yang ia kira, mau percaya atau tidak tetapi memang itulah faktanya.
Akhirnya mau tidak mau, Jati menerima jawabanku. Atau mungkin sebenarnya bel
mulai pelajaran yang menyelamatkanku. Andai bel itu belum berbunyi, mungkin
sebenarnya Jati masih akan bertanya macam-macam hal kepadaku. Untung bel itu
segera berbunyi sehingga kami bergegas masuk ke kelas.
Mengingat keraguan dari Jati, sebenarnya keraguan itu tidak sepenuhnya salah.
Aku memang dihajar preman. Namun preman itu bukan preman di perempatan ujung
kampungku. Preman itu menghajar aku di ruang tamu rumahku. Preman bertubuh
kekar, berseragam polisi dengan pangkat komandan. Ya, preman itu adalah bapakku
sendiri, komandan Iswahyudi yang sangat terpandang di kampungku.
Bagi warga kampungku, komandan Iswahyudi adalah seorang polisi yang luar biasa
dan lain daripada yang lain. Mereka semua memandang sosok komandan Iswahyudi
sebagai pengayom dan pelayan masyarakat yang sangat baik. Memang tidak jarang
bapakku membantu tetanggaku dalam urusan-urusan hukum seperti membuat SIM dan
lain-lain. Bapak juga tidak pernah lalai ikut ronda, asalkan dia tidak sedang
berdinas. Ketika ada hajatan, bapak selalu hadir dan membantu yang punya
hajatan. Luar biasa memang peranan bapakku di masyarakat kampungku. Wajar bila
warga kampungku memandang sosok bapak sebagai komendan polisi yang baik, tegas,
dan santun.
Sayangnya, itu hanya terjadi ketika di luar rumah kami. Begitu bapak memasuki
pintu rumah kami, dia bukan lagi seorang komendan polisi yang baik dan santun.
Ia tak ubahnya seorang monster yang siap menelan apapun yang ia jumpai.
Jangankan menjadi pengayom, justru ketentraman di rumahku berantakan ketika ia
ada di rumah ini. Bibir bonyokku ini menjadi salah satu buktinya. Pandangan
warga kampungku terhadap bapak tak lebih dari sekedar tai kucing. Mereka
memuja-muja kebaikan bapak yang menurutku artificial, sangat dibuat-buat.
Mereka bisa menganggap bapak baik dan santun, jelas mereka bisa mengira seperti
itu karena mereka belum pernah mencicipi kerasnya sol sepatu dinas bapak.
***
“Agni Djenar, berapa tahun kau belajar membuat kopi, heh?” Bentak bapak pagi
itu. Sebelumnya aku bapak memang memintaku untuk menyeduhkan kopi baginya, aku
yang baru beranjak dari tilam pun segera membuatkan kopi yang menjadi penyebab
bentakan pagi itu muncul. “Djenar, sini kamu! Dasar kunyuk...” teriak bapakku
dari ruang tamu. Dengan enggan aku datangi dia. Aku tau setidaknya aku akan
sarapan dengan makian dan tempelengan dari monster berseragam itu. Tapi kalau
aku tidak datang, seisi rumah bisa jadi korban amukkannya. “Cepat, jalannya,
kambing! Jalan dari dapur ke ruang tamu saja lambat sekali kau! Sini, cepat!”
Teriaknya lagi, aku mempercepat langkahku. Begitu aku sampai di dekatnya, ia
segera menarik lenganku dan kemudian memiting kepalaku. Ia jejalkan gelas
kopinya, “Nih, cicipi kopi buatanmu! Ini kopi atau seduhan gula, heh?”
perlakuan kasar seperti ini bukan yang pertama bagiku. Ini sudah menjadi
semacam makanan sehari-hari buatku. Kalau sudah seperti ini aku cuma bisa diam,
mengumpat dalam hati.
Kejadian pagi itu yang membuat bibirku akhirnya harus memar dan membuat aku
menjadi seorang pembohong di hadapan Jati. Aku tahu berbohong itu tidak baik.
Tapi, kalau pun aku ceritakan yang sebenarnya, Jati juga tidak akan percaya.
Dia akan lebih tidak mempercayai kejujuranku daripada kebohonganku kepadanya
pagi itu. Aku cuma tidak mau cerita panjang lebar, dan ujung-ujungnya aku tidak
dipercayai juga. Lebih baik berbohong sedikit, tapi bisa segera menghentikan
serangan pertanyaan dari orang-orang seperti Jati ini.
***
Ibu sudah pergi ke pasar ketika aku bangun tidur pagi itu. Praktis di rumah
hanya ada aku dan bapak. Agak enggan sebenarnya aku keluar dari kamar, namun
berdiam lama-lama di kamar hanya akan menjadi bahan bagi munculnya kemarahan
bapak. Ia akan mencap aku sebagai pemalas dan lelaki yang lembek. Mau tidak mau
aku keluar dari kamarku. Bapak sedang duduk disalah satu kursi di ruang makan.
Ia menikmati sarapannya.
Aku terus berjalan menuju kamar mandi. Tak ada kata, tak ada sapa dari bapak
untuk aku atau pun dari aku untuk bapak. Agak aneh sebenarnya karena pagi ini
ia nampak kalem. Aku tidak tahu harus bersyukur atau curiga terhadap situasi
langka seperti ini. “Nar, bapak berangkat kantor dulu. Jangan lupa beres-beres
rumah, jangan main melulu mentang-mentang hari minggu.” Pamit bapak. Aku hanya
menjawab singkat, “Ya”. Ajaib, pikirku. Tidak ada bentakkan dari bapak
mengawali hari ini.
Selesai mandi, ketika hendak mengambil sarapan, mataku menangkap sesuatu yang
janggal. Di meja makan tergeletak sesuatu yang tak asing. Benda hitam
berbungkus itu biasanya tergantung di pinggang bapak. Biasanya benda itu tidak
pernah lepas dari pingganggnya. Bagaimana bisa hari ini, bedil mungil ini
tergeletak di meja makan, ditinggalkan oleh empunya? Aku letakkan kembali
piringku. Aku urungkan niat mengambil nasi. Tanganku lebih tergoda untuk
merengkuh bedil bapak ini. Aku amati bedil itu, aku nikmati moment itu.
Ternyata nyaman sekali ketika tanganmu menggenggam sebuah bedil. Aku bawa bedil
itu ke kamarku. Aku selipkan di bawah kasurku. Aku hanya meletakaannya begitu
saja. Aku bahkan tak tau mau aku apakan bedil ini. Mengembalikan kepada bapak?
Rasanya sayang sekali melepaskan kemegahan yang sudah dalam genggaman, bukan?
Jadi mengembalikan kepada bapak menjadi sebuah hal yang akan aku pikirkan
paling terakhir, setelah aku benar-benar puas dan tak tahu mau aku apakan lagi
bedil ini.
“Nar, kamu sudah sarapan, Le?” tanya ibu ketika pulang dari pasar. “Belum...”
jawabku dari dalam kamar. “Ini sarapan dulu. Ibu belikan mie kuning
kesukaanmu.” Panggil ibu. Aku beranjak dari kamarku. Belum sempat aku mengambil
piring, terdengar suara pitu dibuka dengan kasar. Bapak masuk dengan muka
merah, nampak sangat emosional. Ia segera menuju meja makan. Aku langsung tahu
tujuannya, ia pasti mencari bedilnya. “Nar, kau lihat bedil bapak?” tanya bapak
dengan kasar. “tidak, pak.” Jawabku singkat. “ Heh, jangan bohong kamu! Tadi
bapak taruh meja makan. Cuma ada kamu dan bapak tadi yang di rumah!” Sahutnya
sambil membentak dan menamparku. Mendengar suara ribut dan suara bapak
membentak, ibu keluar dari dapur. “Ada apa, pak?” tanya ibu lembut tapi tak
bisa menyembunyikan rasa paniknya. “Ini, anakmu ini sudah belajar menipu!
Gara-gara kau selalu memanjakannya, ia jadi anak yang tidak jujur.” Tukas
bapak. “Tidak jujur bagaimana toh, pak? Tidak mungin Djenar menjadi pembohong,
pak. Senakal-nakalnya Djenar, ia anak yang jujur” tanya ibu kaget. “Kamu berani
membela anak setan itu?” bentak bapak. Hatiku sakit mendengar bentakkan itu.
Boleh bapak membentak, menampar, memukuli aku tapi jangan pada ibu. Satu
bentakkan terhadap ibu, seperti seribu peluru bedil bapak menghujam telinga dan
hatiku. Aku beringsut menuju kamar. Aku menangis di dalam kamarku. Sementara di
ruang makan, bapak masih memaki-maki ibu. “Ampun, pak... Ampun.. Iya, pak. Aku
ngaku salah. Ampuuuuun...” ratapan ibu semakin menusuk hatiku. “Pak, bedilmu
ada di sini” kataku yang sudah tepat di belakang punggung bapak dengan bedil
yang juga sudah terarah tepat ke dadanya. “Naar, jangan... Ingat, le dia itu
bapakmu... Jangan nekat, Le!” kata ibu sambil terus menangis. Tapi terlambat,
“Dooor..” sebuah peluru telah termuntahkan. Bapak mengerang sambil terjatuh.
Ibu tergopoh-gopoh mendatangi bapak. Ia terus menangis sambil memanggil-manggil
bapak. Beberapa detik kemudian, “ Door... Door...” terdengar kembali suara
bedil bapak berdentum dua kali...
Yogyakarta,
08 Maret 2015
Asu Gunung