Minggu, 29 Juni 2025

Peluru Bedil Bapak

           




  Djenar, ibuku memberikan nama ini kepadaku delapan belas tahun yang lalu. Menurut ibuku, Djenar berarti kuning. Aku sendiri awalnya tidak begitu mengerti kenapa aku diberi nama yang artinya kuning. Ketika aku berusia dua belas tahun, sepuluh tahun yang lalu, aku bertanya kepada ibu mengapa aku memiliki nama yang artinya “kuning”. Ibuku menjelaskan bahwa ketika aku masih di dalam kandungan, mendekati saat aku lahir, ibuku tiba-tiba menyukai benda-benda yang berwarna kuning. Bahkan pakaian-pakaian yang ibu gunakan selalu mengandung unsur kuning, kalau sampai kehabisan pakaian yang mengandung corak berwarna kuning maka ibu bisa saja sewot selama seharian penuh. Itulah kenapa ketika aku terlahir, ibuku menyisipkan nama Djenar dalam deretan namaku.

            Agni, nama ini disematkan oleh bapakku. Agni menurut bapak berarti api.  Rupanya, bapak maupun ibu menyumbang satu nama untukku. Kalau ibu menghadiahkan nama Djenar, bapakku menyematkan nama Agni.  Menurut bapak, nama seorang anak laki-laki harus gagah dan berwibawa. Nama seorang laki-laki tidak boleh lembek karena kepribadian si anak dipengaruhi oleh namanya. Bapakku memberi nama yang berarti api untukku dengan harapan aku selalu penuh semangat, berjiwa yang selalu  berkobar-kobar, dan tidak pernah tersesat dalam menjalani hidup karena aku memiliki penerang dalam namaku. Bapakku selalu mendidik aku dengan keras. Menjadi laki-laki harus kuat menurut beliau. Apabila tidak cukup tangkas, lebih baik aku tidak menjadi laki-laki.

            Bagi aku sendiri, namaku hanyalah sebuah nama. Entah aku diberi nama yang berarti kuning, merah, hijau, ataupun biru dan nama yang berarti api, air, tanah, dan atau angin, aku sama sekali tidak memandang hal ini sebagai sesuatu yang layak untuk aku pikirkan. Hal yang sebenarnya cukup layak untuk diperhatikan bukan terletak pada nama itu melainkan pada harapan-harapan yang menyertai setiap nama-nama.  Bapakku adalah seorang polisi. Beliau cukup keras dalam mendidikku. Seperti yang aku ungkapkan sebelumnya, baginya seorang laki-laki yang tidak kuat dan tangkas lebih baik tidak menjadi laki-laki. Komandan Iswahyudi, begitu biasanya para tetangga memanggil bapakku. Ibuku adalah seorang ibu rumah tangga yang baik. Ia juga seorang penjahit. Jahitan ibuku dikenal cukup baik, tak heran kalau banyak yang menjadi pelanggannya.

***

            “Kenapa bibirmu bonyok macam itu, Nar?” tanya Jati, teman sekelasku, ketika aku tiba di sekolah pagi itu. Aku hanya diam, pertanyaan dari Jati hanya aku jawab dengan senyum kecil yang sedikit aku paksakan. “Nar, kalau ada masalah kamu bisa cerita ke aku. Kita berkawan sudah lama, sejak kita sama-sama masih kanak-kanak sampai kita kelas dua SMA begini. Apa kau masih belum bisa percaya sama aku?” Jati kembali bertanya. Karena aku merasa memang tidak bisa lari lagi dari pertanyaan-pertanyaan Jati, akhirnya aku memutuskan untuk menjawabnya. “Kamu tahu perempatan di ujung kampung itu kan? Kemarin sore, ketika aku pulang dari rumahmu itu, aku di cegat preman. Mereka bermaksud memalak uangku tapi karena uangku cuma tinggal sepuluh ribu, mereka menghajar aku seperti ini.” Jelasku pada Jati. Untuk sejenak Jati terdiam, aku mengira nampaknya jawabanku akan bisa ia terima. Namun ternyata aku salah, Jati masih kurang percaya dengan jawabanku. “ Ish, ada preman berani malak anak komendan Iswahyudi yang kondang itu? Aku kok kurang ngandhel.” Ujar Jati. Aku hanya menjawab bahwa apapun yang ia kira, mau percaya atau tidak tetapi memang itulah faktanya. Akhirnya mau tidak mau, Jati menerima jawabanku. Atau mungkin sebenarnya bel mulai pelajaran yang menyelamatkanku. Andai bel itu belum berbunyi, mungkin sebenarnya Jati masih akan bertanya macam-macam hal kepadaku. Untung bel itu segera berbunyi sehingga kami bergegas masuk ke kelas.

            Mengingat keraguan dari Jati, sebenarnya keraguan itu tidak sepenuhnya salah. Aku memang dihajar preman. Namun preman itu bukan preman di perempatan ujung kampungku. Preman itu menghajar aku di ruang tamu rumahku. Preman bertubuh kekar, berseragam polisi dengan pangkat komandan. Ya, preman itu adalah bapakku sendiri, komandan Iswahyudi yang sangat terpandang di kampungku.

            Bagi warga kampungku, komandan Iswahyudi adalah seorang polisi yang luar biasa dan lain daripada yang lain. Mereka semua memandang sosok komandan Iswahyudi sebagai pengayom dan pelayan masyarakat yang sangat baik. Memang tidak jarang bapakku membantu tetanggaku dalam urusan-urusan hukum seperti membuat SIM dan lain-lain. Bapak juga tidak pernah lalai ikut ronda, asalkan dia tidak sedang berdinas. Ketika ada hajatan, bapak selalu hadir dan membantu yang punya hajatan. Luar biasa memang peranan bapakku di masyarakat kampungku. Wajar bila warga kampungku memandang sosok bapak sebagai komendan polisi yang baik, tegas, dan santun.

            Sayangnya, itu hanya terjadi ketika di luar rumah kami. Begitu bapak memasuki pintu rumah kami, dia bukan lagi seorang komendan polisi yang baik dan santun. Ia tak ubahnya seorang monster yang siap menelan apapun yang ia jumpai. Jangankan menjadi pengayom, justru ketentraman di rumahku berantakan ketika ia ada di rumah ini. Bibir bonyokku ini menjadi salah satu buktinya. Pandangan warga kampungku terhadap bapak tak lebih dari sekedar tai kucing. Mereka memuja-muja kebaikan bapak yang menurutku artificial, sangat dibuat-buat. Mereka bisa menganggap bapak baik dan santun, jelas mereka bisa mengira seperti itu karena mereka belum pernah mencicipi kerasnya sol sepatu dinas bapak. 

***

            “Agni Djenar, berapa tahun kau belajar membuat kopi, heh?” Bentak bapak pagi itu. Sebelumnya aku bapak memang memintaku untuk menyeduhkan kopi baginya, aku yang baru beranjak dari tilam pun segera membuatkan kopi yang menjadi penyebab bentakan pagi itu muncul. “Djenar, sini kamu! Dasar kunyuk...” teriak bapakku dari ruang tamu. Dengan enggan aku datangi dia. Aku tau setidaknya aku akan sarapan dengan makian dan tempelengan dari monster berseragam itu. Tapi kalau aku tidak datang, seisi rumah bisa jadi korban amukkannya. “Cepat, jalannya, kambing! Jalan dari dapur ke ruang tamu saja lambat sekali kau! Sini, cepat!” Teriaknya lagi, aku mempercepat langkahku. Begitu aku sampai di dekatnya, ia segera menarik lenganku dan kemudian memiting kepalaku. Ia jejalkan gelas kopinya, “Nih, cicipi kopi buatanmu! Ini kopi atau seduhan gula, heh?” perlakuan kasar seperti ini bukan yang pertama bagiku. Ini sudah menjadi semacam makanan sehari-hari buatku. Kalau sudah seperti ini aku cuma bisa diam, mengumpat dalam hati.

            Kejadian pagi itu yang membuat bibirku akhirnya harus memar dan membuat aku menjadi seorang pembohong di hadapan Jati. Aku tahu berbohong itu tidak baik. Tapi, kalau pun aku ceritakan yang sebenarnya, Jati juga tidak akan percaya. Dia akan lebih tidak mempercayai kejujuranku daripada kebohonganku kepadanya pagi itu. Aku cuma tidak mau cerita panjang lebar, dan ujung-ujungnya aku tidak dipercayai juga. Lebih baik berbohong sedikit, tapi bisa segera menghentikan serangan pertanyaan dari orang-orang seperti Jati ini.

***

            Ibu sudah pergi ke pasar ketika aku bangun tidur pagi itu. Praktis di rumah hanya ada aku dan bapak. Agak enggan sebenarnya aku keluar dari kamar, namun berdiam lama-lama di kamar hanya akan menjadi bahan bagi munculnya kemarahan bapak. Ia akan mencap aku sebagai pemalas dan lelaki yang lembek. Mau tidak mau aku keluar dari kamarku. Bapak sedang duduk disalah satu kursi di ruang makan. Ia menikmati sarapannya.

            Aku terus berjalan menuju kamar mandi. Tak ada kata, tak ada sapa dari bapak untuk aku atau pun dari aku untuk bapak. Agak aneh sebenarnya karena pagi ini ia nampak kalem. Aku tidak tahu harus bersyukur atau curiga terhadap situasi langka seperti ini. “Nar, bapak berangkat kantor dulu. Jangan lupa beres-beres rumah, jangan main melulu mentang-mentang hari minggu.” Pamit bapak. Aku hanya menjawab singkat, “Ya”. Ajaib, pikirku. Tidak ada bentakkan dari bapak mengawali hari ini.

            Selesai mandi, ketika hendak mengambil sarapan, mataku menangkap sesuatu yang janggal. Di meja makan tergeletak sesuatu yang tak asing. Benda hitam berbungkus itu biasanya tergantung di pinggang bapak. Biasanya benda itu tidak pernah lepas dari pingganggnya. Bagaimana bisa hari ini, bedil mungil ini tergeletak di meja makan, ditinggalkan oleh empunya? Aku letakkan kembali piringku. Aku urungkan niat mengambil nasi. Tanganku lebih tergoda untuk merengkuh bedil bapak ini. Aku amati bedil itu, aku nikmati moment itu. Ternyata nyaman sekali ketika tanganmu menggenggam sebuah bedil. Aku bawa bedil itu ke kamarku. Aku selipkan di bawah kasurku. Aku hanya meletakaannya begitu saja. Aku bahkan tak tau mau aku apakan bedil ini. Mengembalikan kepada bapak? Rasanya sayang sekali melepaskan kemegahan yang sudah dalam genggaman, bukan? Jadi mengembalikan kepada bapak menjadi sebuah hal yang akan aku pikirkan paling terakhir, setelah aku benar-benar puas dan tak tahu mau aku apakan lagi bedil ini.

            “Nar, kamu sudah sarapan, Le?” tanya ibu ketika pulang dari pasar. “Belum...” jawabku dari dalam kamar. “Ini sarapan dulu. Ibu belikan mie kuning kesukaanmu.” Panggil ibu. Aku beranjak dari kamarku. Belum sempat aku mengambil piring, terdengar suara pitu dibuka dengan kasar. Bapak masuk dengan muka merah, nampak sangat emosional. Ia segera menuju meja makan. Aku langsung tahu tujuannya, ia pasti mencari bedilnya. “Nar, kau lihat bedil bapak?” tanya bapak dengan kasar. “tidak, pak.” Jawabku singkat. “ Heh, jangan bohong kamu! Tadi bapak taruh meja makan. Cuma ada kamu dan bapak tadi yang di rumah!” Sahutnya sambil membentak dan menamparku. Mendengar suara ribut dan suara bapak membentak, ibu keluar dari dapur. “Ada apa, pak?” tanya ibu lembut tapi tak bisa menyembunyikan rasa paniknya. “Ini, anakmu ini sudah belajar menipu! Gara-gara kau selalu memanjakannya, ia jadi anak yang tidak jujur.” Tukas bapak. “Tidak jujur bagaimana toh, pak? Tidak mungin Djenar menjadi pembohong, pak. Senakal-nakalnya Djenar, ia anak yang jujur” tanya ibu kaget. “Kamu berani membela anak setan itu?” bentak bapak. Hatiku sakit mendengar bentakkan itu. Boleh bapak membentak, menampar, memukuli aku tapi jangan pada ibu. Satu bentakkan terhadap ibu, seperti seribu peluru bedil bapak menghujam telinga dan hatiku. Aku beringsut menuju kamar. Aku menangis di dalam kamarku. Sementara di ruang makan, ibu masih memaki-maki ibu. “Ampun, pak... Ampun.. Iya, pak. Aku ngaku salah. Ampuuuuun...” ratapan ibu semakin menusuk hatiku. “Pak, bedilmu ada di sini” kataku yang sudah tepat di belakang punggung bapak dengan bedil yang juga sudah terarah tepat ke dadanya. “Naar, jangan... Ingat, le dia itu bapakmu... Jangan nekat, Le!” kata ibu sambil terus menangis. Tapi terlambat, “Dooor..” sebuah peluru telah termuntahkan. Bapak mengerang sambil terjatuh. Ibu tergopoh-gopoh mendatangi bapak. Ia terus menangis sambil memanggil-manggil bapak. Beberapa detik kemudian, “ Door... Door...” terdengar kembali suara bedil bapak berdentum dua kali...

Yogyakarta, 08 Maret 2015

Asu Gunung

            Djenar, ibuku memberikan nama ini kepadaku delapan belas tahun yang lalu. Menurut ibuku, Djenar berarti kuning. Aku sendiri awalnya tidak begitu mengerti kenapa aku diberi nama yang artinya kuning. Ketika aku berusia dua belas tahun, sepuluh tahun yang lalu, aku bertanya kepada ibu mengapa aku memiliki nama yang artinya “kuning”. Ibuku menjelaskan bahwa ketika aku masih di dalam kandungan, mendekati saat aku lahir, ibuku tiba-tiba menyukai benda-benda yang berwarna kuning. Bahkan pakaian-pakaian yang ibu gunakan selalu mengandung unsur kuning, kalau sampai kehabisan pakaian yang mengandung corak berwarna kuning maka ibu bisa saja sewot selama seharian penuh. Itulah kenapa ketika aku terlahir, ibuku menyisipkan nama Djenar dalam deretan namaku.

            Agni, nama ini disematkan oleh bapakku. Agni menurut bapak berarti api.  Rupanya, bapak maupun ibu menyumbang satu nama untukku. Kalau ibu menghadiahkan nama Djenar, bapakku menyematkan nama Agni.  Menurut bapak, nama seorang anak laki-laki harus gagah dan berwibawa. Nama seorang laki-laki tidak boleh lembek karena kepribadian si anak dipengaruhi oleh namanya. Bapakku memberi nama yang berarti api untukku dengan harapan aku selalu penuh semangat, berjiwa yang selalu  berkobar-kobar, dan tidak pernah tersesat dalam menjalani hidup karena aku memiliki penerang dalam namaku. Bapakku selalu mendidik aku dengan keras. Menjadi laki-laki harus kuat menurut beliau. Apabila tidak cukup tangkas, lebih baik aku tidak menjadi laki-laki.

            Bagi aku sendiri, namaku hanyalah sebuah nama. Entah aku diberi nama yang berarti kuning, merah, hijau, ataupun biru dan nama yang berarti api, air, tanah, dan atau angin, aku sama sekali tidak memandang hal ini sebagai sesuatu yang layak untuk aku pikirkan. Hal yang sebenarnya cukup layak untuk diperhatikan bukan terletak pada nama itu melainkan pada harapan-harapan yang menyertai setiap nama-nama.  Bapakku adalah seorang polisi. Beliau cukup keras dalam mendidikku. Seperti yang aku ungkapkan sebelumnya, baginya seorang laki-laki yang tidak kuat dan tangkas lebih baik tidak menjadi laki-laki. Komandan Iswahyudi, begitu biasanya para tetangga memanggil bapakku. Ibuku adalah seorang ibu rumah tangga yang baik. Ia juga seorang penjahit. Jahitan ibuku dikenal cukup baik, tak heran kalau banyak yang menjadi pelanggannya.

***

            “Kenapa bibirmu bonyok macam itu, Nar?” tanya Jati, teman sekelasku, ketika aku tiba di sekolah pagi itu. Aku hanya diam, pertanyaan dari Jati hanya aku jawab dengan senyum kecil yang sedikit aku paksakan. “Nar, kalau ada masalah kamu bisa cerita ke aku. Kita berkawan sudah lama, sejak kita sama-sama masih kanak-kanak sampai kita kelas dua SMA begini. Apa kau masih belum bisa percaya sama aku?” Jati kembali bertanya. Karena aku merasa memang tidak bisa lari lagi dari pertanyaan-pertanyaan Jati, akhirnya aku memutuskan untuk menjawabnya. “Kamu tahu perempatan di ujung kampung itu kan? Kemarin sore, ketika aku pulang dari rumahmu itu, aku di cegat preman. Mereka bermaksud memalak uangku tapi karena uangku cuma tinggal sepuluh ribu, mereka menghajar aku seperti ini.” Jelasku pada Jati. Untuk sejenak Jati terdiam, aku mengira nampaknya jawabanku akan bisa ia terima. Namun ternyata aku salah, Jati masih kurang percaya dengan jawabanku. “ Ish, ada preman berani malak anak komendan Iswahyudi yang kondang itu? Aku kok kurang ngandhel.” Ujar Jati. Aku hanya menjawab bahwa apapun yang ia kira, mau percaya atau tidak tetapi memang itulah faktanya. Akhirnya mau tidak mau, Jati menerima jawabanku. Atau mungkin sebenarnya bel mulai pelajaran yang menyelamatkanku. Andai bel itu belum berbunyi, mungkin sebenarnya Jati masih akan bertanya macam-macam hal kepadaku. Untung bel itu segera berbunyi sehingga kami bergegas masuk ke kelas.

            Mengingat keraguan dari Jati, sebenarnya keraguan itu tidak sepenuhnya salah. Aku memang dihajar preman. Namun preman itu bukan preman di perempatan ujung kampungku. Preman itu menghajar aku di ruang tamu rumahku. Preman bertubuh kekar, berseragam polisi dengan pangkat komandan. Ya, preman itu adalah bapakku sendiri, komandan Iswahyudi yang sangat terpandang di kampungku.

            Bagi warga kampungku, komandan Iswahyudi adalah seorang polisi yang luar biasa dan lain daripada yang lain. Mereka semua memandang sosok komandan Iswahyudi sebagai pengayom dan pelayan masyarakat yang sangat baik. Memang tidak jarang bapakku membantu tetanggaku dalam urusan-urusan hukum seperti membuat SIM dan lain-lain. Bapak juga tidak pernah lalai ikut ronda, asalkan dia tidak sedang berdinas. Ketika ada hajatan, bapak selalu hadir dan membantu yang punya hajatan. Luar biasa memang peranan bapakku di masyarakat kampungku. Wajar bila warga kampungku memandang sosok bapak sebagai komendan polisi yang baik, tegas, dan santun.

            Sayangnya, itu hanya terjadi ketika di luar rumah kami. Begitu bapak memasuki pintu rumah kami, dia bukan lagi seorang komendan polisi yang baik dan santun. Ia tak ubahnya seorang monster yang siap menelan apapun yang ia jumpai. Jangankan menjadi pengayom, justru ketentraman di rumahku berantakan ketika ia ada di rumah ini. Bibir bonyokku ini menjadi salah satu buktinya. Pandangan warga kampungku terhadap bapak tak lebih dari sekedar tai kucing. Mereka memuja-muja kebaikan bapak yang menurutku artificial, sangat dibuat-buat. Mereka bisa menganggap bapak baik dan santun, jelas mereka bisa mengira seperti itu karena mereka belum pernah mencicipi kerasnya sol sepatu dinas bapak. 

***

            “Agni Djenar, berapa tahun kau belajar membuat kopi, heh?” Bentak bapak pagi itu. Sebelumnya aku bapak memang memintaku untuk menyeduhkan kopi baginya, aku yang baru beranjak dari tilam pun segera membuatkan kopi yang menjadi penyebab bentakan pagi itu muncul. “Djenar, sini kamu! Dasar kunyuk...” teriak bapakku dari ruang tamu. Dengan enggan aku datangi dia. Aku tau setidaknya aku akan sarapan dengan makian dan tempelengan dari monster berseragam itu. Tapi kalau aku tidak datang, seisi rumah bisa jadi korban amukkannya. “Cepat, jalannya, kambing! Jalan dari dapur ke ruang tamu saja lambat sekali kau! Sini, cepat!” Teriaknya lagi, aku mempercepat langkahku. Begitu aku sampai di dekatnya, ia segera menarik lenganku dan kemudian memiting kepalaku. Ia jejalkan gelas kopinya, “Nih, cicipi kopi buatanmu! Ini kopi atau seduhan gula, heh?” perlakuan kasar seperti ini bukan yang pertama bagiku. Ini sudah menjadi semacam makanan sehari-hari buatku. Kalau sudah seperti ini aku cuma bisa diam, mengumpat dalam hati.

            Kejadian pagi itu yang membuat bibirku akhirnya harus memar dan membuat aku menjadi seorang pembohong di hadapan Jati. Aku tahu berbohong itu tidak baik. Tapi, kalau pun aku ceritakan yang sebenarnya, Jati juga tidak akan percaya. Dia akan lebih tidak mempercayai kejujuranku daripada kebohonganku kepadanya pagi itu. Aku cuma tidak mau cerita panjang lebar, dan ujung-ujungnya aku tidak dipercayai juga. Lebih baik berbohong sedikit, tapi bisa segera menghentikan serangan pertanyaan dari orang-orang seperti Jati ini.

***

            Ibu sudah pergi ke pasar ketika aku bangun tidur pagi itu. Praktis di rumah hanya ada aku dan bapak. Agak enggan sebenarnya aku keluar dari kamar, namun berdiam lama-lama di kamar hanya akan menjadi bahan bagi munculnya kemarahan bapak. Ia akan mencap aku sebagai pemalas dan lelaki yang lembek. Mau tidak mau aku keluar dari kamarku. Bapak sedang duduk disalah satu kursi di ruang makan. Ia menikmati sarapannya.

            Aku terus berjalan menuju kamar mandi. Tak ada kata, tak ada sapa dari bapak untuk aku atau pun dari aku untuk bapak. Agak aneh sebenarnya karena pagi ini ia nampak kalem. Aku tidak tahu harus bersyukur atau curiga terhadap situasi langka seperti ini. “Nar, bapak berangkat kantor dulu. Jangan lupa beres-beres rumah, jangan main melulu mentang-mentang hari minggu.” Pamit bapak. Aku hanya menjawab singkat, “Ya”. Ajaib, pikirku. Tidak ada bentakkan dari bapak mengawali hari ini.

            Selesai mandi, ketika hendak mengambil sarapan, mataku menangkap sesuatu yang janggal. Di meja makan tergeletak sesuatu yang tak asing. Benda hitam berbungkus itu biasanya tergantung di pinggang bapak. Biasanya benda itu tidak pernah lepas dari pingganggnya. Bagaimana bisa hari ini, bedil mungil ini tergeletak di meja makan, ditinggalkan oleh empunya? Aku letakkan kembali piringku. Aku urungkan niat mengambil nasi. Tanganku lebih tergoda untuk merengkuh bedil bapak ini. Aku amati bedil itu, aku nikmati moment itu. Ternyata nyaman sekali ketika tanganmu menggenggam sebuah bedil. Aku bawa bedil itu ke kamarku. Aku selipkan di bawah kasurku. Aku hanya meletakaannya begitu saja. Aku bahkan tak tau mau aku apakan bedil ini. Mengembalikan kepada bapak? Rasanya sayang sekali melepaskan kemegahan yang sudah dalam genggaman, bukan? Jadi mengembalikan kepada bapak menjadi sebuah hal yang akan aku pikirkan paling terakhir, setelah aku benar-benar puas dan tak tahu mau aku apakan lagi bedil ini.

            “Nar, kamu sudah sarapan, Le?” tanya ibu ketika pulang dari pasar. “Belum...” jawabku dari dalam kamar. “Ini sarapan dulu. Ibu belikan mie kuning kesukaanmu.” Panggil ibu. Aku beranjak dari kamarku. Belum sempat aku mengambil piring, terdengar suara pitu dibuka dengan kasar. Bapak masuk dengan muka merah, nampak sangat emosional. Ia segera menuju meja makan. Aku langsung tahu tujuannya, ia pasti mencari bedilnya. “Nar, kau lihat bedil bapak?” tanya bapak dengan kasar. “tidak, pak.” Jawabku singkat. “ Heh, jangan bohong kamu! Tadi bapak taruh meja makan. Cuma ada kamu dan bapak tadi yang di rumah!” Sahutnya sambil membentak dan menamparku. Mendengar suara ribut dan suara bapak membentak, ibu keluar dari dapur. “Ada apa, pak?” tanya ibu lembut tapi tak bisa menyembunyikan rasa paniknya. “Ini, anakmu ini sudah belajar menipu! Gara-gara kau selalu memanjakannya, ia jadi anak yang tidak jujur.” Tukas bapak. “Tidak jujur bagaimana toh, pak? Tidak mungin Djenar menjadi pembohong, pak. Senakal-nakalnya Djenar, ia anak yang jujur” tanya ibu kaget. “Kamu berani membela anak setan itu?” bentak bapak. Hatiku sakit mendengar bentakkan itu. Boleh bapak membentak, menampar, memukuli aku tapi jangan pada ibu. Satu bentakkan terhadap ibu, seperti seribu peluru bedil bapak menghujam telinga dan hatiku. Aku beringsut menuju kamar. Aku menangis di dalam kamarku. Sementara di ruang makan, bapak masih memaki-maki ibu. “Ampun, pak... Ampun.. Iya, pak. Aku ngaku salah. Ampuuuuun...” ratapan ibu semakin menusuk hatiku. “Pak, bedilmu ada di sini” kataku yang sudah tepat di belakang punggung bapak dengan bedil yang juga sudah terarah tepat ke dadanya. “Naar, jangan... Ingat, le dia itu bapakmu... Jangan nekat, Le!” kata ibu sambil terus menangis. Tapi terlambat, “Dooor..” sebuah peluru telah termuntahkan. Bapak mengerang sambil terjatuh. Ibu tergopoh-gopoh mendatangi bapak. Ia terus menangis sambil memanggil-manggil bapak. Beberapa detik kemudian, “ Door... Door...” terdengar kembali suara bedil bapak berdentum dua kali...

Yogyakarta, 08 Maret 2015

Asu Gunung

Senin, 23 Juni 2025

Sebatang Pohon Belimbing



 


Dahulu ketika aku kecil, aku memiliki ketergantungan terhadap buah-buahan. Setiap hari aku harus mengkonsumsi buah minimal satu, buah apa pun. Apabila aku tidak mengkonsumsi buah, bisa dipastikan aku akan sakit setelahnya. Karena ketergantunganku itu, aku sering di panggil codot oleh teman-teman dan tetanggaku.

 

            Memiliki ketergantungan terhadap buah-buahan, membuat aku merasa bersyukur karena terlahir di desa sehingga untuk mendapat buah tidaklah harus membeli. Di depan rumahku sendiri terdapat sebatang pohon belimbing. Pohon itu sudah ada sejak aku belum hadir di dunia ini, begitu menurut cerita nenekku. Pohon belimbing itu sangat produktif dan tidak kenal musim. Istilahnya kalau anda bertandang ke rumah saya, kapan pun itu, dan anda menghendaki untuk menikmati belimbing ini maka anda tinggal memetik.

 

            Di pohon itu dulu aku pernah menyusun beberapa papan kayu sehingga aku memiliki tempat untuk duduk dan tiduran di atas pohon yang cukup rindang itu. Biasanya aku akan duduk-duduk di situ sambil membaca novel saat sore hari selepas pulang sekolah. Pernah suatu kali, aku asyik membaca sebuah novel sambil tiduran di atas pohon itu. Tanpa sadar, aku tertidur dan ketika bangun aku sudah ada di ujung tempat nongkrong itu sedangkan novelku sudah ada di atas tanah. Jantungku seketika berdegup kencang, untung bukuku yang berpindah ke atas tanah dan bukan aku. Semenjak itu aku menjadi jarang untuk duduk dan menikmati segarnya membaca novel di antara daun-daun belimbing sambil mengunyah  buah-buah belimbing yang setengah matang.

***

        “ Nenek mulai sakit-sakitan, mas!” kata adikku melalui telepon. “Kalau bisa kamu segera pulang. Nenek ingin melihat cucu-cucunya. Siapa tahu dengan kita semua berkumpul, nenek bisa kembali semangat dan cepat sembuh” lanjutnya. “Baik, sabtu nanti aku pulang. Sementara ini aku bereskan dulu urusan di kantorku” jawabku. “Ya sudah, segera ya mas. Aku mengkhawatirkan nenek. Kalau begitu sampai bertemu besok sabtu. Salam dan doa baik, mas” sahut adikku sambil menutup telepon.

 

       Aku merasa canggung. Nenekku yang tinggal satu-satunya, kini terbaring sakit. Aku merasa bersalah karena sangat jarang bertandang ke rumah. Aku lebih asyik dengan urusan kantor. Berangkat pagi dan pulang ke kos ketika hampir larut malam. Sebagai pegawai kelas menengah di sebuah perusahaan swasta, aku memang berusaha untuk memberikan yang terbaik untuk kerjaku. Dengan harapan aku akan segera dipromosikan untuk kembali naik jabatan. Oleh karena aku terlalu asyik bekerja aku bahkan seolah- olah lupa kalau aku mempunyai seorang nenek yang sejak aku kecil merawatku dengan sangat baik dan aku tinggalkan di rumah. Aku lupa dengan pamitanku ketika aku akan berangkat ke kota dan tinggal di sebuah kamar kos. Padahal ketika berpamitan dulu, aku berjanji akan sering-sering pulang untuk mengunjungi nenek di rumah.

“ Pohon belimbing ini di tanam oleh almarhum kakek buyutmu. Pohon ini bahkan lebih tua dari kamu. Lihat, buahnya banyak sekali dan pohon ini tidak kenal musim. Ia selalu berbuah setiap hari. Selain itu, perhatikanlah, pohon ini memberi bantuan kepada burung-burung yang lelah terbang untuk berteduh. Pohon ini menjadi satu-satunnya kenangan hidup yang di wariskan oleh kakek buyutmu kepada kita semua. Itulah kenapa nenek selalu merawat pohon ini sebaik mungkin. Kelak kalau nenek sudah tidak ada, kamu yang harus merawat pohon ini dengan baik. Jadikan pohon ini kenangan untuk nenek dan eyang buyutmu, walau kamu belum pernah bertemu dan mengenal almarhum eyang buyutmu.” Cerita nenek ketika aku kecil ini kembali berputar di kepalaku. Aku baru menyadari kalau sesungguhnya aku sangat merindukan rumahku. Dari ingatan tentang cerita nenek, aku mulai mengenang semua yang aku alami di rumahku. Susah senang yang aku alami. Masa ketika aku masih kanak-kanak dan senang bermain dengan kawan-kawanku yang kini bahkan sudah ada yang berkeluarga. Aku merindukan masa-masa itu.

Tanpa aku sadari aku meneteskan air mata. Aku beranjak ke pintu kamar, aku kunci pintunya. Aku tidak mau ada yang mengganggu nostalgiaku akan masa-masa indahku.  “Nenek ini semakin tua, begitu juga dengan orang tuamu. Kamu menjadi generasi yang memanjangkan nama besar kakek buyutmu, le. Harapan nenek, kamu menjadi orang baik dan bisa mengharumkan nama kakek buyutmu. Kamu hidup bukan untuk dirimu sendiri. Ketika kamu melakukan sesuatu, ingatlah nama baik keluargamu dan orang-orang yang menyayangimu. Nenek mungkin tidak akan berusia panjang lagi. Tapi setidaknya, melihat kamu dan adikmu tumbuh besar dan menjadi orang yang baik sudah membuat nenek bangga. Kapan pun  nenek di panggil Tuhan, nenek siap.” Kalimat nenek itu terucap pada malam terakhir aku di rumah, setahun yang lalu, sebelum aku berangkat ke kota Jakarta ini.

***

       Sewaktu aku masih kecil, nenek sering duduk memangku aku sambil berdongeng. Terkadang nenek juga menembangkan tembang-tembang Jawa yang syahdu. Aku saat kecil sangat senang mendengarkan nenek bercerita atau menembangkan tembang-tembang Jawa. Biasanya aku akan duduk anteng di pangkuan beliau selama beliau bercerita sambil mengunyah buah belimbing yang setengah matang. Sejak dahulu aku memang menyukai buah belimbing yang setengah matang. Rasanya renyah, manis, agak sepat dan agak masam, segar sekali.

Rasa belimbing setengah matang yang bercampur aduk itu mengingatkanku pada hidup ini. Belimbing setengah matang yang mengandung berbagai rasa itu yang membuat aku menggemarinya. Begitu juga hidup ini menjadi layak untuk dihidupi karena menyimpan berbagai rasa dari setiap momen yang terjadi. Kalau tidak ada momen-momen pahit, atau masam, dan sepat, maka apa gunanya rasa manis? Manis hanya akan menjadi satu-satunya rasa, dan itu pasti menjemukan.

 

       Saat ini aku mungkin sedang berhadapan dengan momen yang menyimpan rasa masam. Aku harus menerima kenyatan bahwa nenek yang mengasuh aku sejak kecil, membesarkan aku di pangkuan hangatnya, mengisi hari-hariku dengan ajaran tentang budaya dan kearifan-kearifan lokal, selalu menjadi yang pertama berlari ketika mendengar jerit tangisku, kini sedang terbaring tak berdaya di tilamnya. Aku ingin segera pulang bertemu dengan nenek. Kalau pun ini menjadi hari-hari terakhir buat beliau, aku harap aku akan sempat mengucapkan permohonan maaf dan terima kasihku untuk beliau. Tapi harapan tinggal harapan ketika bosku menyerahkan setumpuk berkas keuangan yang harus aku audit. “Berkas-berkas ini adalah laporan keuangan bulan ini. Sepertinya barang keluar cukup banyak dan bisnis kita semakin well. Coba ini kamu audit, besok lusa, selambat-lambatnya jam 10.00 WIB, kamu sudah serahkan kembali pada saya. Bisa?” tantang beliau. Sebagai auditor paling baru, aku tak mungkin melepas kepercayaan bosku. Aku cuma bisa menganggukkan kepalaku. Sejenak kemudian, aku hanya bisa garuk-garuk kepala karena menyadari bahwa karena tugas ini berarti kepulanganku akan tertunda 2 hari, minimal.

 

        Bagaimana aku kalang kabut menyelesaikan audit keuangan yang sangat rumit dan banyak tak perlu aku ceritakan. Intinya, pagi itu dengan mata yang mirip panda, aku memasuki ruangan bos. Senyumnya melebar, “Nah, ini yang aku tunggu. Pegawai dengan kerja cepat. Mana laporan hasil audit? Sudah beres toh?” Sergap bosku. Aku mengangguk sambil tersenyum. “Bos, saya mau minta ijin. Hari ini saya mau pulang. Nenek saya sakit. Boleh bos?” tanyaku setelah menyerahkan laporan kepada bosku. Bosku membenarkan letak kacamatanya lalu bertanya “ berapa hari? Cuma buat hari ini?” Aku terdiam sejenak. “Seminggu, bos.” Jawabku. Sejak bekerja di kantor ini, inilah kali pertama aku meminta ijin untuk mangkir dari perkerjaanku, mungkin inilah penyebab kenapa permintaan ijinku segera dipenuhi oleh bosku. Aku sangat lega, kini yang tersisa adalah hati yang penuh harapan untuk aku bisa bertemu nenek dalam keadaan beliau masih hidup. Aku sadar bahwa mungkin waktu nenek tidak lama lagi. Aku bergegas pulang dan berkemas.

 

        Malamnya, aku sudah duduk di peron kereta. Aku ambil kereta bisnis yang tidak terlalu mahal tetapi cepat sampai. Di sampingku duduk seorang bapak tua. Entah kenapa ia suka sekali memandangi aku berlama-lama. Aku mencoba berpikir positif, mungkin wajahku mirip anaknya yang entah dimana dan dia rindukan. Lagi pula, tenagaku jelas lebih besar dari tenaga bapak tua itu dan kereta ini cukup ramai, jadi orang tua ini tidak akan berani macam-macam. “Ngger, kamu harus memilih.” Kata orang tua itu setelah cukup lama membuat aku salah tingkah gara-gara ia pandangi terus. “Maksud kakek?” jawabku berusaha tetap sopan. “Tumbangkan kenangan yang tersimpan untuk menghidupkan sumber kenangan, Le.” Jawab beliau dengan (menurutku) berbelit-belit. “Saya kok kurang paham, Kek? Maksudnya apa ya?” Aku masih mencoba sopan, bahkan sebenarnya aku sendiri heran, dengan kondisi seperti ini kok aku masih bisa besopan-sopan. Aku bisa saja menggampar bapak-bapak yang sejak tadi merusak kenyamananku dan kini malah membuatku bingung. Tapi entah kenapa aku selalu berusaha tetap sopan.  “Pohon itu, Le-Cah bagus. Pohon belimbingmu.” Jawab kakek itu yang akhirnya berkata lugas. Aku hendak bertanya kembali tentang hubungan antara pohon belimbing dengan kenangan dan pemberi kenangan, tetapi aku merasa pudakku diguncang-guncang seseorang. Aku buka mata, aku kucek-kucek sebentar dan aku lihat gerbong sepi. Tempat duduk di sampingku kosong, dan memang kosong sejak tadi. Aku tertidur dan bermimpi rupanya. Beberapa orang yang ada sudah terlelap. Aku melihat samping, ternyata kondektur kereta sudah berdiri di sampingku. “Tiket!” mintanya singkat. Aku ulurkan tiketku. Sebentar kemudian tiket itu sudah berlubang dan kembali ke kantongku. Aku menerawang ke jendelea kereta. Hamparan sawah menjadi hitam karena gelap malam.

 

        Aku terus memikirkan pesan kakek-kakek dalam mimpikku. Aku ingat-ingat pesan beliau. Mendadak aku menjadi penuh harapan. Aku mengira, pohon itu adalah kenangan yang tersimpan seperti yang di maksud kakek, aku harus menumbangkan pohon itu agar nenek “si pemberi kenangan” bisa sembuh dan meneruskan hidupnya. Kantukku mendadak hilang. Berganti dengan harapan yang menggebu-gebu. Sesampainya di rumah, akan aku tebang pohon itu.

***

      Hari keduaku di dusun. Aku duduk di batang pohon belimbing yang sudah aku tebang. Hatiku berdebar-debar karena harapan yang sedemikian besar akan adanya damapak baik setelah aku tebang pohon belimbing kesayanganku ketika kecil itu. Aku seka peluhku. Aku pandangi batang tua pohon belimbing itu. Aku mendadak terlempar kembali ke masa ketika aku masih kanak-kanak. Ternyata masa kanak-kanakku bukan hanya terisi oleh aku dan nenek tetapi ada aku, nenek, dan pohon ini. Setiap pagi aku dan nenek menyapu daun pohon belimbing yang berserakan, setelah itu aku bersekolah. Sorenya, nenek memanjakan aku dengan dongeng-dongen dan tembang-tembang di bawah naungan pohon itu. Aku juga ingat ketika aku membuat sebuah tempat yang nyaman di atas pohon belimbing itu. Aku juga ingat setiap kali aku duduk, tiduran, membaca buku di tempat nongkrongku di pohon itu. Bahkan aku kembali teringat ketika aku membaca buku dan tertidur sampai hampir terjatuh dari pohon itu, kejadian yang membuat aku kapok berada di tempat nyaman itu lagi. Tak tersa, kenangan kenangan itu membuat aku merasa bersalah telah menebangnya. Kejam sekali aku, tuduhku terhadap diriku sendiri.

 

       Aku mencoba menenangkan diri. Ini untuk nenek. Ini demi kesembuhan nenek. Semalam nenek di bawa ke rumah sakit. Aku dan adikku yang menghantarkan bersama seorang tetanggaku yang memiliki mobil untuk membawa nenek. Pagi-pagi tadi aku memang sengaja meninggalkan nenek dan adikku untuk pulang dan menebang pohon belimbing di rumah. Sesuai dengan mimpiku di kereta. Kini aku berharap nenek bisa segera sembuh.

“Hallo, ada apa, ndug?” kataku menjawab telepon dari adikku. Tidak ada jawaban darinya atas pertanyaanku. Aku hanya mendengar suara isakan. Mendadak perasaanku yang tadi pebuh harap berubah menjadi kacau-balau. Aku takut sekaligus panik. “Dik? Hallo, dik? Dik?” panggilku dan tetap tidak ada jawaban. “Mas, nenek mas. Nenek sudah pulang...” Jawab adikku setelah aku panggil berkali-kali. Aku lemas, menyadari bahwa nenek ssudah tiada. Aku memandangi pohon yang baru saja aku tebang. Kenapa hasilnya tidak seperti yang dikatakan kakek di mimpiku? Apakah aku salah tafsir?

Samapi dengan nenek dikebumikan, aku tidak bisa mengerti kenapa yang terjadi tidak sesuai tafsiran atas mimpiku, tetapi aku telah mengikhlaskan nenek. Aku terima bahwa mimpiku saat itu ternyata hanya bunga tidur. Ini adalah hari ke tujuh setelah nenek meninggal. Aku memang memperpanjang ijin kerjaku, dan bosku kembali mengijinkan sambil beliau menyampaikan rasa belasungkawanya ketika beliau melayat. Aku duduk di amben bambu di depan rumah. Semalam, aku kembali bermimpi bahwa nenek mendatangi aku bersama kakek yang waktu itu ada dimimpiku ketika di kereta. “Le, ini kakek buyutmu, dan ini kamu rawatlah ini. Jaga dia seperti dulu nenek merawat yang diberikan kakek buyutmu ini” pesan nenek dimimpiku itu. Karena  itu hanya mimpi, jelas aku hanya menganggapnya bunga tidur. Ketika asyik mengenang nenek yang hadir di mimpiku semalam, tiba-tiba mataku melihat sesuatu yang ganjil. Di dekat bekas pohon belimbingku, terdapat sebuah pohon kecil yang kalau aku perhatikan daunnya, tak mungkin tidak itu adalah pohon belimbing. Kemarin pohon kecil itu tidak ada. Apa artinya ini? Adakah kaitannya dengan mimpiku? Akh, masih terlalu cepat untuk menyimpulkan...

 

                                                                                                                                                                               ASU GUNUNG


Pakualaman dan Tepi Progo

           






  “Skak-Ster” seru seorang bapak yang tengah asyik bermain catur di salah satu angkringan di depan gedung Pakualaman. Angkringan dekat pohon besar di halaman Pakualaman malam ini tidak cukup ramai seperti biasanya. Hujan sore tadi mungkin yang menjadi sebab sepinya angkringan ini. Padahal biasanya angkringan ini cukup ramai. “Pak, kopi pahit satu lagi. Sama rokoknya satu.” Minta seorang pemuda kepada pemilik angkringan. “Siap, mas.” Jawab pemilik angkringan seraya beranjak mengambilkan sebatang rokok kretek filter dan membuatkan segelas kopi. “ Ini mas, kopinya. Kopi kenthel pahit dan panas seperti biasa.” Kata pemilik angkringan seraya memberikan segelas kopi dengan uap yang masih mengepul seolah sudah hafal benar dengan pesanan pemuda itu. Pemuda itu mengangguk sambil tersenyum ketika menerima segelas kopi panasnya. Asap rokok kretek filter mengepul bercampur dengan uap kopinya. “Mas, saya itu heran sama mas ini.” Kata pemilik angkringan memulai obrolan. “Heran kenapa, pak?” jawab pemuda itu sambil tersenyum kecil. “Mas itu masih muda, tapi selama ngopi di sini saya perhatikan minumnya selalu kopi hitam panas dan pahit. Seperti orang jaman dulu, mas.” Lanjut sang bapak. Si pemuda tersenyum sambil berkata, “ Pada dasarnya kopi itu pahit pak. Saya suka rasa yang alami, tidak dibuat-buat.” Bapak pemilik angkringan manggut- manggut saja mendengar jawaban pemuda di depannya itu. “ Tapi mas, ini luar biasa lho. Luar biasa, ada anak muda punya selera ngopi seperti ini.” Lanjut sang bapak. Sekali lagi pemuda itu tersenyum singkat sambil menjawab,” Saya ini pemuda biasa kok, pak. Soal selera, ya setiap orang kan punya selera masing-masing. Sama juga dengan bapak-bapak yang sudah sepuh, manusia produk lama, tetapi selera ngopinya modern, sudah dicampur gula. Selain itu alasan saya suka kopi pahit adalah kata-kata dari teman saya, pak. Teman saya itu pernah menerangkan pada saya, ketika seseorang masih bisa merasakan rasa pahit ketika meminum kopi berarti hidupnya masih lebih manis dari kopi itu.” Bapak itu manggut-manggut lagi. “Skak-Ster” seru bapak yang lain yang bermain catur.

***

            Suatu sore, di tepi kali Progo yang indah dengan konturnya yang berkelok-kelok di kaki pegunungan Menoreh, seorang pemuda duduk sambil memandangi air sungai yang terus mengalir seolah enggan dipandang lama-lama. Sebatang rokok terselip di antara jemarinya ketika sekepul asap terhembus keluar dari mulutnya. Tak lama kemudian pemuda itu berjalan mendekati seorang bapak yang sedang termangu memandangi pelampung pancingnya.

            “Sudah dapat banyak, pak?” sapa pemuda kepada pemancing separuh baya. “Lumayan, mas. Itu hasilnya di ember.” Jawab sang bapak sambil tersenyum. Pemuda itu mendekat ke ember di samping pemancing, tiga ekor ikan bader sebesar telapak tangan orang dewasa berenang berputar-putar sambil megap-megap. “Wah, mancing berapa lama, pak bisa dapat ikan-ikan sebesar ini?” tanya si pemuda. “ Lumayan mas, sekitar dua jam. Masnya suka mancing juga?” sahut bapak pemancing. “Suka, pak. Tapi belum pernah mancing di sungai sebesar ini dengan arus sederas ini. Biasanya mancing di selokan atau di kolam, pak.” Jawab si pemuda. “Kalau di kolam itu, sembilan puluh persen pasti dapat hasil, mas. Coba sekali-sekali mas mancing di sungai seperti ini. Mas bisa mendapat tantangan lebih sekaligus belajar lebih banyak untuk bekal hidup, mas.” Si pemuda mengernyitkan keningnya. Kata-kata dari bapak itu cukup mengena di hati si pemuda. “Rokok, pak.” Kata si pemuda menawarkan rokok kretek filter kepada sang pemancing. Bapak pemancing itu mengambil sebatang rokok lalu menyulutnya. “Terima kasih, mas.” Ujar sang pemancing sambil mengepulkan asap dari hisapan pertama pada rokoknya. Tak lama kedua orang itu sudah duduk berdampingan, sama-sama memandang pelampung kail sambil terus menghisap dan mengepulkan asap rokoknya. “ Saya tertarik dengan kata bapak tadi, pak.” Ungkap si pemuda. “ Wah? Kata yang mana, mas?” tanya sang pemancing sedikit terkejut namun tetap santai. “Tentang mancing dan belajar untuk bekal hidup.” Jawab si pemuda sambil mengepulkan asap rokoknya. Sang pemancing tersenyum kemudian berkata,”Besok sore, silakan datang lagi kesini. Bawa pancingmu, mas. Biar kali Progo ini yang mengajarimu.” Si pemuda terdiam memandangi sang pemancing. Berbagai macam pemikiran berputar-putar di otaknya. Sang pemancing beranjak menggulung senar pancingnya dan berkemas, hendak menyudahi kenikmatan sore di pinggir kali ini bersama pancing nampaknya. “ Pak, ikannya ketinggalan.” Seru si pemuda ketika bapak itu beranjak pergi setelah berpamitan namun tanpa membawa embernya. “ Buat mas saja... Atau kalu tidak, silakan lepaskan lagi saja ikan-ikan itu...” Jawab bapak pemancing sambil tersenyum dan melambaikan tangan.

            Sore hari berikutnya, si pemuda kembali mendatangi tepi sungai Progo. Agaknya ia cukup penasaran dengan ungkapan-ungkapan dari bapak pemancing kemarin. Sepi. Hanya ada ember kosong milik bapak pemancing kemarin. Ia duduk di sebuah batu yang cukup besar sambil menyulut rokoknya. Sebentar ia memandangi kali Progo dengan arusnya yang cukup deras itu. Setelah tampak merenung sebentar, pemuda itu menyiapkan pancingnya dan tak lama mata kailnya sudah terendam di air kali. Pemuda itu teurs anteng, memandangi pelampung pancingnya. Berkali-kali pula ia nampak tergesa menyentakkan kailnya. Tapi tidak ada satu pun ikan yang tersangkut di kailnya. Satu jam, dua jam, hampir dua setengah jam berlalu. Belum ada satu pun ikan tersangkut dalam kailnya, begitu juga dengan bapak kemarin yang belum juga hadir. Sampai hampir senja ketika jemarinya merasakan getaran yang berbeda dari senar pancingya, ia sentakkan sekali lagi pancingya dan seekor ikan bader sebesar telapak tangan anak-anak menggelepar. Ia termangu memandangi ikan itu, kecil, tak seperti yang diharapkan. Namun pemuda itu hanya sebentar saja termangu, ia lalu tersenyum dan melepaskan ikan itu dari kailnya dan memasukkan ikan itu kedalam ember.  

“ Sudah mengerti kan, apa yang saya maksudkan kemarin sore, mas?” Sapa seorang bapak yang tanpa disadari oleh pemuda itu sudah berdiri di sampingnya. “Woh-eh, Bapak... Kapan datangnya, pak? Hemph, sejujurnya saya belum mengerti, pak. Mungkin kali ini sudah mengajari saya dan memberi saya bekal hidup. Tetapi... Sepertinya, isi kepala saya terlalu sempit untuk dapat mewadahi apa yang diajarkannya.” Jawab pemuda itu agak kaget. “Kamu memang masih muda, mas. Wajar. Pemuda jarang memperhatikan hal- hal kecil yang ada. Yang nampak hanya hal-hal luar biasa dan istimewa saja. Padahal di dalam hal-hal sederhana  ini, bersemayam keluarbiasaan yang sangat besar.” Jawab sang bapak sambil menghisap rokok kreteknya. “ Saya masih belum paham...” Jawab pemuda dengan pelan dan ragu. “Rokok, mas... Biar tidak pusing.” Tawar sang bapak sambil masih tersenyum melihat si pemuda nampak kebingungan. “Sudah, pak. Saya ada rokok kok.” Jawab si pemuda sambil memegang saku jaketnya. “Sudah, pakai ini dulu. Rokokmu tidak seenak ini.” Kata sang bapak sambil mengulungkan sebungkus rokok kreteknya. Pemuda itu pun segan untuk kembali menolak. Ia tarik sebatang dan ia sulut rokok kretek dari bapak itu. “Mas tahu kenapa saya suka rokok kretek?” tanya bapak tiba-tiba. Si pemuda hanya menggeleng. Belum selesai penasarannya gara-gara satu soal, dan sekarang bapak itu menambahkah satu “teka-teki” lagi. Pemuda itu menjadi semakin antusias, mempersiapkan telinga untuk mendengar penjelasan dari bapak pemancing. “ Rokok kretek itu jika terjilat ujungnya, sebelah manapun, rasanya pahit. Seperti hidup ini, bila sengaja atau pun tidak terjadi hal yang di luar harapan, rasanya pahit. Namun pada saat yang sama, rokok kretek tidak pernah mempermasalahkan mau dibakar ujungnya yang mana. Beda dengan rokoknya mas. Kalau rokoknya mas itu, kalau salah membakar ujungnya, habislah. Kenikmatan rokok itu hilang, bahkan akan langsung mas buang dan menjadi satu batang yang sia-sia. Dari situ kita belajar, mas. Belajar untuk melihat hal yang terjadi dalam hidup kita seperti rokok kretek ini. Tidak ada yang sia-sia dalam hidupmu, mas.”

Pemuda itu hanya mengangguk-angguk. Dalam hatinya ia merasa kagum pada bapak pemancing satu ini.  Luar biasa refleksinya pada hal-hal lumrah. “Lalu, mengenai pelajaran dari kali ini, pak? Bisakah bapak menambahkan wawasan saya soal itu?” Tanya pemuda itu mengingatkan. Bapak pemancing separuh baya itu memandangi si pemuda sejenak. Sejenak itu pula tatapan teduhnya menjadi terasa sangat tajam bagi si pemuda. Tak lama, bapak itu tersenyum dan tatapannya kembali teduh. “ Saya memperhatikan mas sejak mas datang. Tadi mas sejenak duduk di batu ini kan sebelum menyetel pancing? Apa yang mas lakukan?” Tanya sang bapak. “Mas sedang menimbang, dengan arus sederas ini, mas akan pakai pemberat yang mana, yang seberat apa. Itu hal pertama yang di ajarkan oleh kali ini. Dalam hidup ini, ketika menghadapi masalah, timbang dulu. Jangan grusa-grusu dihadapi. Jangan sampai masalah utamamu terletak pada caramu memecahkan masalah itu.” Lanjut sang bapak tanpa menunggu respon dari si pemuda atas pertanyaan sebelumnya. Pemuda tetap diam, menyimak dan mencerna penjelasan dari bapak tersebut. “ Selanjutnya, ketika beberapa kali mas menyentakkan kail tanpa hasil sampai akhirnya baru saja mas mendapatkan ikan itu, Sebenarnya mas belajar tentang kepekaan. Mulai dari jari tanganmu, mas membedakan getaran kail oleh arus atau tarikan ikan. Dari getaran itu dan arah goyangan pelampung mas tahu arah pergerakan dan posisi ikan. Kemudian mas secera cepat, bahkan tanpa sadar, mengerti harus menyentak kail ke arah mana sehingga ikan itu tersangkut dan tidak luput.” Lanjut sang bapak dengan detail menerangkan hal-hal luar biasa dari sekedar menarik ikan. “Yang terakhir, hal yang paling umum sudah dipahami. Memancing itu mengajari kita bersabar. Yang namanya menanti tidak pernah menyenangkan, apalagi yang mas nantikan ini hal yang tidak tentu. Namun selama harapan masih ada, semua akan menjadi seperti rokok kretek tadi, tidak akan menjadi sia-sia. Sampai sini apakah mas mengerti?” sang bapak mengakhiri penjelasannya. Si pemuda hanya mampu mengangguk lemah, ia tak pernah menyadari hal luar biasa yang selama ini bisa ia pelajari dari memancing yang sudah lama ia gemari. “ Saya suka semangat belajarmu, mas. Teruslah seperti itu. Mari kita pulang... Sudah hampir maghrib. Eh, Ngomong- ngomong, kenapa mas suka memandangi kali Progo ini?” tanya sang bapak sambil mereka berjalan beriringan meninggalkan tepi sungai setelah sebelumnya melepaskan bader kecil dalam ember. “Orang yang saya sayangi menyukai keindahan kali Progo ini, pak. Saya berharap suatu saat kami bisa memadangi kali Progo ini berdua, walau itu hampr tak mungkin.” Jawab si pemuda.

***

“Kopi panas dan pahit?” tanya pemilik angkringan di dekat pohon besar di muka Pakualaman. “Wah, nampaknya bapak sudah hafal dengan pesanan saya. Sama rokoknya satu ya, pak. Kali ini rokoknya yang kretek saja. Biar mantap” jawab pemuda sambil tersenyum. “Wah, tumben ini pengen yang mantap. Eh, mas. Kalau boleh tahu mas itu aslinya mana kok sering banget mampir di sini? Padahal kalau orang sekitar sini, rasanya saya jarang melihat mas, kecuali pas mampir kesini.” Tanya pemilik angkringan. “Saya ini dari Godean, pak.” Jawab si pemuda sambil menerima kopi panasnya dan mengepulkan asap rokok kreteknya. “ weh, kok jauh ternyata. Lha mas ini ngekos di sekitar sini apa gimana?” Lanjut sang pemilik angkringan. “Tidak kok, pak. Tapi saya suka main kesini. Ada harapan yang mungkin tidak akan tercapai di sini.” Jawab pemuda itu. “Skak-Ster!” Seru seorang bapak yang asyik bermain catur. “ Mas, dengar itu tadi? Skak-Ster, mas.” Tanya pemilik angkringan. “Iya, saya dengar. Terus kenapa, pak?” jawab si pemuda. “Skak-Ster, itu pamungkas dalam catur mas. Menghasilkan keuntungan yang besar. Tapi mas, sebelum skakmat, pertandingan belum usai. Mas juga begitu. Mas bilang mungkin harapan, mas tidak mungkin tercapai. Tapi selama mas masih berharap dan mau berikhtiar dengan setia kesini, semua masih mungkin mas. Belum skakmat, lho itu.” Papar pemilik angkringan. Luar biasa. Entah itu tulus untuk memberi pemuda itu semangat, atau sekedar memancing agar pemuda itu mau terus datang setiap sore untuk membeli kopi pahit dengan harga yang sama dengan kopi manisnya sehingga ia bisa mengambil untung lebih dari penghematan gula. Namun bagi si pemuda kata-kata itu luar biasa. “Lha emang apa toh harapannya, mas?” tanya pemilik angkringan. Pemuda itu tersenyum. Dalam hati pemuda itu mengakui keJawaan pemilik angkringan yang memberikan perhatian dengan pertanyaan-pertanyaan yang bahkan nampak personal. “Saya menantikan seorang gadis dari daerah Bintaran ini, pak. Berharap bisa bertemu, tapi entah.” Jawab si pemuda. “Woalah, sabar mas. Belum skakmat” sahut pemilik angkringan dengan candanya.

Di Pakualaman dan tepi kali Progo, pemuda itu merasa belajar banyak hal yang tak pernah ia pikirkan sebelumnya. Belajar dari hal-hal sederhana dan bimbingan orang-orang sederhana yang luar biasa. Sekali ia tarik hisapan panjang pada rokok kreteknya. “Mas, sudah baca koran?” Tanya pemilik angkringan seraya memberikan sebuah koran harian lokal kepada si pemuda. “Belum, kenapa?” tanya pemuda seraya menerima koran dari pemilik angkringan. Di headline tertulis berita tentang penemuan jenasah korban tenggelam di kali Progo seminggu yang lalu. “Mas kan orang Godean, dekat dengan lokasi berita itu.” Jawab pemilik angkringan sambil menunjukan berita yang menjadi headline koran. Pemuda itu memandangi foto korban. Sebentar kemudian ia terkejut. “Pak, orang di foto ini baru saja mancing bersama saya di kali Progo kemarin sore....”

Yogyakarta, 09 Maret 2015

Asu Gunung

 

Kamis, 05 Juni 2025

Biru

Baiknya kita bergegas

berkemas dan membawa pulang semua

hutang- hutang rasa yang telah kau paksa lunas


Pada pamitan yang pamungkas

kau jinjing tas kisah lama

 yang tak seberapa besar lagi tak penuh itu


Ragamu perlahan dan pasti menjauh

mengabur dari pandang

suara lirih senandungmu diterkam sunyi 


Aku kembali masuk ruang yang kosong

dan ternyata, kau lupa membawa kisah kecil

yang dulu kita rawat hidupi bersama


Kau lupa memasukkan kisah kecil itu

dan kau terburu waktu 

berlari mengejar biru....


                                                                                    Bekasi, 05 Juni 2025

                                                                                     Asu Gunung

Senin, 02 Juni 2025

Sepanjang Bakauheni- Merak

                                                                                            Kepada kawan sejalan

Di tepian pagar kapal

lepas Bakauheni 

Batang- batang rokok

menemani kembali pada masa yang berlalu 

Cerita dibarter dengan cerita

kisah ditukar dengan kisah

dan tawa sama- sama dibagi rata 

hingga terik tak lagi peduli


Jangan mati dahulu, penutur cerita

telingaku masih ingin menerima banyak kisahmu

langgengkan hidupmu, bung

masih banyak gelas- gelas kopi yang belum terisi

sediakan ceritamu menjadi isinya


Dan pada suatu saat nanti

cerita- cerita ini yang akan kita wariskan

kepada pemuda- pemuda pemilik masa

Bahwa laut telah diseberangi

Andalas telah disambangi

dan hari dimenangi...


                                        Bekasi, 3 Juni 2025

                                        Asu Gunung

Peluru Bedil Bapak

               Djenar, ibuku memberikan nama ini kepadaku delapan belas tahun yang lalu. Menurut ibuku, Djenar berarti kuning. Aku sendiri a...