SURYA SENJA DI LERENG MENOREH
SURYA
SENJA DI LERENG MENOREH
ASU GUNUNG
BABAK I
Di depan sebuah rumah, di halaman depan seorang
pemuda duduk di lincak. Hawa segar menoreh serta angin pegunungan yang menjadi
dingin cukup terasa. Suasana di sekitar rumah mulai lengang, suara lenguh lembu
dan kicau seekor burung trothokan membikin ramai sore itu.Pemuda masih terduduk
sambil menanti seseorang yang ia kasihi dengan harapan gadis itu akan datang
membawa sebuah penerimaan buat dirinya.
Pemuda
: Angin ini membelaiku, sayangku. Selembut belaian tangan halusmu di rambutku
yang kala itu gondrong dan tergerai. Aku merindukan masa itu, aku rindukan
belaianmu yang seperti dahulu, aku merindukan gelak tawamu yang dahulu, atau
pun sekedar senyum manis yang sedikit tersungging dari bibir tipismu. Aku
merindukan semua tentang kamu. Bilakah engkau akan datang, sayangku? Belum kah
cukup penantianku ini bagimu? Telah 453 kali surya terbit dari ufuk timur, 453
kali pula ia terbenam di ujung barat sana sejak aku melepasmu untuk memenuhi
janjimu. Selama itu pula aku menantimu menahan perih dan sakit atas semua
ini, jangan buat penantianku ini menjadi sia- sia… Aku menunggu dirimu kembali
di lereng Menoreh ini, dari dahulu, kini, dan sampai engkau berkata “Ya” untuk
hati, cinta, dan diriku seutuhnya.
Masih di depan rumah, di atas lincaknya pemuda
yang menunggu kembali diam. Dari arah belakang, masuk sesosok pemuda lain dan
mendekati pemuda yang sedang menunggu. Ia tahu pemuda itu sedang menunggu
seseorang, kemudian menyapanya…
Budi
: Masih engkau menanti dia yang tak tentu, mas?
Pemuda
: Apa maksudmu mengatakan dia yang aku nanti itu tak tentu, Bud?
Budi
: Bukan apa- apa,mas. Tapi bukankah memang engkau menanti yang tak tentu? Tak
tentu kapan akan datang bahkan dia akan datang atau tidak pun tak seorang pun
yang tahu kan? Kalau boleh aku bersaran padamu, mas, lebih baik engkau
tinggalkan penantianmu. Beranjaklah dan temukan yang baru buat kamu. Gadis di
dunia ini belum habis.
Pemuda
: Aku mengerti tapi ini bukan cuma soal gadis, Bud.
Budi
: Lantas?
Pemuda
: Ini soal perasaan dan kesetiaan. Aku menyayangi sepenuh hatiku, tulus. Maka
aku menanti ia di sini, aku ingin setia kepadanya atau setidaknya setia kepada
perasaanku.
Budi
: Mas, tidaklah sayang itu berarti harus memilikinya. Tanpa memiliki dia pun
engkau bisa menyayanginya. Lalu soal kesetiaan, siapa pun tahu engkau seorang
yang setia dengan bukti penantianmu selama ini. Jangan menjadi bodoh atas nama
setia, mas.
Pemuda
: Tapi aku telah berkata padanya bahwa aku akan menati dia, Bud. Di sini, di
tempat ini. Dia pun telah berkata bahwa ia juga menyayangiku. Apa aku nampak
bodoh bila aku mempercayai itu dan berusaha untuk setia. Kamu terlalu terbawa
jaman dan melupakan kesetiaan, Bud.
Budi
: Mas, kalau katanya mas ini menanti karena perasaan, bagaimana perasaan mas
selama penantian ini? Pernahkah mas merasa bahagia? Pernah?
Pemuda
: Sakit, Bud. Tapi aku rela kok menahan sakit ini asal dia bahagia.
Budi
: Jangan menjadi naïf, mas. Mas juga perlu memikirkan perasaan mas sendiri.
Pemuda
: Aku tidak mau egois.
Budi
: Mas, manusia itu bukan melulu makhluk yang sosial. Manusia juga menghidupi
jiwa individu dalam dirinya, mas. Memikirkan kesenangan pribadi juga bukan
selalu hal yang egoistis. Dalam takaran ini, mas tidak bisa disebut egois bila
mas memberi ruang untuk memikirkan dan mencari kesenangan mas.
Pemuda
: Tidak, Bud. Aku tidak bisa.
Budi
: Halah, belum pernah dicoba kok sudah bilang tidak bisa. Kalau mas bilang
tidak bisa, maka jangan pernah mas berharap untuk hidup bahagia. Percuma mas,
tidak bakal bisa.
Pemuda
: Tapi aku bahagia melihat dia yang aku nanti bahagia.
Budi
: Bahagia kok merasa sakit? Tai kucing…
Pemuda
: Loh, ini beneran!
Budi
: Mana ada mas, orang sakit yang bahagia. Kalau begitu, buat apa orang sakit
minta di sembuhkan? Buat apa ada dokter?
Pemuda
: Kamu tidak mengerti, Bud.
Budi
: Apa yang tidak aku mengerti,mas? Tunjukkan apa yang tidak aku mengerti biar
aku bisa menjadi mengerti!
Pemuda
: Perasaanku, Budiiii. Kamu sama sekali tidak mengerti perasaanku! Kamu selalu
ngomong tentang hal yang logis dan seharusnya! Kamu bahkan melogika perasaanku.
Perasaan tidak kenal logika, Bud, catat itu! Tidak kenal Logika!!!
Budi
: Lalu buat apa kita punya otak,Mas! Manusia tidak Cuma hidup untuk menghidupi
perasaan. Memang kita harus memperhatikan perasaan, tapi logika juga di pakai.
Harus seiring dan seimbang. Kalau tidak bakal menjadi dualisme pada dirimu. Satu
ikut logika, satu ikut perasaan yang artinya BINGUNG! Mau jadi orang bingung
terus? Manusia tidak hidup untuk bingung! Camkan itu, mas!
Pemuda
: Heh Budi, kamu sudah berani menggurui aku dengan teori-teori logikamu? Kamu
tidak mengerti perasaanku, Bud. Sebaiknya kamu pergi sekarang! Pergiiiiiii…
Peeergiiiiiii!!!
Budi
: Baik mas, aku akan pergi! Tapi ingat dan renungkan apa yang aku katakan,mas!
Aku pamit, mas.
Budi pergi dengan gusar dan heran. Pemuda masih
dalam amarah yang memuncak. Ia kembali duduk di lincak di depan rumah dan
menyeruput kopi pahitnya. Sore mulai menjadi senja, amarah pemuda susut. Ia
kembali gandrung…
Pemuda
: Langit di ufuk barat telah merah, sayangku. Hari ini hampir berlalu. Engkau
masih belum datang, akankah penantianku ini menjadi sia-sia saja? Jangan
sayang, jangan biarkan aku menantimu dengan sia-sia. Ingatlah akan cintamu
bagiku, sebagaimana aku memegang teguh cintaku bagimu. Kembalilah, pada
waktunya nanti. Dan pada waktu engkau kembali, pada waktu itu aku masih aka
nada di sini menunggumu.
BABAK II
Dari sisi timur
rembulan sudah terbit. Suasana sekitar semakin sepi. Tinggal orkes jangkrik
yang nyaring terdengar. Keadaan sekitar rumah pemuda semakin gelap. Pemuda
keluar dari rumah membawa secangkir kopi dan sepiring kacang rebus duduk di
lincak depan rumah.
Pemuda : Rembulan telah
mucul, sayang. Kalong- kalong menari di bawah langit yang menjadi hitam.
Tidakkah engkau datang hari ini? Aku kesepian di sini, hawa dingin ini
membuatku semakin merindukanmu. Merindukan peluk hangatmu… Tidakkah engkau
datang hari ini? Aku masih menantimu di sini, di lereng Menoreh ini…
Seorang gadis datang dari samping depan
panggung. Menghampiri pemuda yang sedang menunggu.
Nurani
: Selamat malam, mas…
Pemuda : Selamat
malam, Nur. Wah, njanur gunung malam-malam datang.
Nurani
: Hanya mampir saja, mas. Masih menunggu?
Pemuda
: Eh, iya, Nur. Aku masih menunggu dan mungkin mulai merasa ragu.
Nurani
: Kenapa harus ada ragu di hatimu,mas?
Pemuda
: Tadi siang Budi datang, Nur.
Nurani
: Benarkah? Bilang apa dia, mas? Sepertinya hal yang dia bilang cukup
mengganggumu?
Pemuda
: Dia dan aku hanya bicara soal perasaanku, penantian ini, dan banyak hal
mengenai logika, Nur. Kalau aku pikir- pikir, benar apa kata Budi tadi. Mungkin
aku sudah harus mengakhiri penantianku ini. Sudah waktunya aku mencari yang
lain.
Nurani
: Tapi mas… Bukankah kamu menyayanginya? Kamu mencintai dia, mas?
Pemuda
: Nurani.. Nurani… Bukankah mencintai tidak melulu harus memiliki? Aku tetap
bisa menyayangi dia walau aku tidak memiliki dia.
Nurani
: Memang, aku tidak menyalahkan teori itu. Tapi jangan membohongi perasaanmu
sendiri,mas. Aku tahu kamu ingin bersanding dengan ia suatu saat, mas.
Pemuda
: Aku lelah, Nur. Penantian ini membuat aku sakit, bukan bahagia.
Nurani
: Tapi, setelah penantian ini bukankah akan ada kebahagiaan yang engkau tunggu,
mas?
Pemuda
: Iya kalau semua ini bakal berakhir bahagia, kalau tidak? Bukankah aku hanya
akan jatuh pada kesia- siaan dan kekecewaan belaka, Nur?
Nurani
: Mas, segala sesuatu butuh perjuangan dan pengorbanan. Anggap ini sebagai
wujud perjuangan dan pengorbananmu, mas. Percayalah pada perasaanmu, apa pun
yang terjadi nanti kita tidak tahu dan tidak bisa mengira- ngira.
Pemuda
: Aku takut… Takut, Nur. Aku takut kalau harus kecewa dalam kesia- siaan dan
kegagalan.
Nurani
: Orang yang gagal adalah orang yang menyerah, mas. Bukan orang yang jatuh
dalam usahanya dan bangkit lagi untuk kembali dalam usaha dan perjuangan.
Pemuda
: Menurut kamu, kurangkah usaha dan pengorbananku ini, Nurani?
Nurani
: Mas, Tak ada takaran pasti buat pengorbanan dan usaha…
Pemuda
: Maksudmu???
Nurani
: Tak ada takaran atau ukuran atau pun batasan yang mutlak untuk sebuah
pengorbanan dan usaha, jadi aku tidak bisa mengatakan kurang atau berlebih atau
cukup, mas. Tapi yang perlu adalah engkau lebih sabar dan yakin pada
perasaanmu.
Pemuda
: Penantianku ini telah cukup lama. Dia bahkan tak pernah sekali pun
mengunjungi aku. Mungkinkah ia ingat akan rasa sayangnya padaku? Atau mungkin
dia tidak akan kembali? Kalau ia tidak pernah kembali…
Nurani
: Kau mencintai dia,mas?
Pemuda
: kalau aku tidak mencintai dia, aku tidak menunggunya selama ini. Tidak
sedetik pun juga.
Nurani
: Kalau kamu mencintainya, dengan tulus, apakah masih menjadi penting dia ingat
atau tidak? Tapi cinta mempunyai jalannya sendiri yang sarat luka dan manis.
Bertahanlah, mas. Dia akan datang.
Pemuda
: Aku merasa terjebak pada komitmenku sendiri, Nur. Aku tersiksa.
Nurani
: Kamu masih suka wayang?
Pemuda
: Masih…
Nurani
: Masih pula mengagumi Dewabrata?
Pemuda
: Masih juga.. Kenapa?
Nurani
: Dia adalah Lanang yang sejati, mas.
Pemuda
: Aku tahu itu, Nur. Dia seorang yang baik dan jantan.
Nurani
: Kamu tidak ingin seperti dia, mas?
Pemuda
: Aku mulai tidak mengerti arah pembicaraan kita… Tapi demi puas hatimu aku
jawab juga pertanyaanmu, setiap lelaki ingin menjadi seperti dia. Demikian pula
aku.
Nurani
: Menurutmu, apa yang membuat Dewabrata tidak diragukan kelanangannya?
Pemuda
: Pilihan ia menjadi lanang dan keteguhannya pada janji serta ucapannya.
Nurani
: Itu karena dia bertanggung jawab atas pilihan dan ucapannya, mas. Tidak mudah
bagi seorang Dewabrata menjalani sumpahnya itu. Demikian banyak rintangan yang
ia hadapi, ia tumbangkan satu per satu. Dewabrata rela memberikan apa pun demi
cintanya pada keluarganya, bagi Sentanu, ayahandanya; bagi Citranggada dan Wicitrawirya,adiknya; bahkan ia rela mengorbankan cintanya pada kekasihnya, Dewi
Amba.
Pemuda
: Itu ternyata yang kamu tuju… Apa aku mampu menjadi seperti itu? Bukankah itu
sekedar dongeng wayang, Nur?
Nurani
: Sekedar kisah wayang dan akan tetap menjadi sekedar kisah apabila tidak ada
yang meneladani serta merealisasikan jiwa- jiwa ksatria para tokohnya. Jadilah
Dewabrata bagi dia yang kamu tunggu, mas. Sampai Yamadipati turun kalau perlu.
Pemuda
: Kamu meragukan kejantananku, Nur?
Nurani
: Sebegitu yakin engkau pada kejantananmu, mas?
Pemuda
: (Diam tertunduk, merenung)
Nurani
: Buktikan mas… Buktikan kamu cukup jantan untuk mengatakan YA pada cintamu,
perasaanmu. Jangan kau mengharap dia menjawab YA padamu sebelum engkau yakin
mampu bertahan pada jalan asmaramu. Bertanggung jawablah atas janji- janjimu,
dan segala yang engkau ucapkan. Cinta tidak sekedar rayuan mesra dan
gombal-gombalan. Cinta butuh tanggung jawab, atau cinta tidak berarti apa- apa.
Pemuda
: (Masih terdiam sebentar, menghela nafas agak panjang)… Sudah terlalu
larut, Nur. Pulanglah dulu, kita lanjutkan lain waktu.
Nurani
: Iya, mas. Aku pamit dulu. Kalau nanti mas perlu aku, mas tinggal bisa mencari
aku kapan pun, mas.
Pemuda
: (mengangguk tanpa kata- kata)
Pemuda
: Ooooo, sang Hyang Tunggal kang Murbeng Jagat.. Apa yang sebenarnya tengah
terjadi? Hatiku tergetar kencang. Satu sisi dari diriku bahkan meragukan diriku
sendiri? Purnama telah lama naik, sayangku. Cantik sekali ia di atas puncak
Suralaya di sana. Aku dingin, sayangku… Aku terluka, sayangku… Aku masih setia
padamu dan menunggu di tempat yang sama sejak engkau mengatakan tidak. Aku tahu
engkau pula menyayangiku, datanglah… datanglah…. Kau berjalan lebih lambat dari
purnama yang mengunjungi puncak Suralaya, kekasihnya. Jangan menjadi dingin,
mentari…
BABAK III
Sore hari di depan rumah pemuda yang menunggu.
Budi asyik bersiul-siul menggoda burung trothokan milik pemuda dan Nurani duduk
di lincak. Suasana cukup lengang dan tidak lagi terlalu panas.
Budi
: Pagi tadi cerah, Nur…
Nurani
: Tak secerah kemarin, Bud… Kamu lihat mendung yang ada di atas bukit- bukit
itu? Menggelayut sejak mentari pagi tadi dilahirkan, menjemukan…
Budi
: Tapi mendung itu membuat warna padu yang serasi antara hijaunya bukit- bukit
itu, birunya langit, serta putihnya mega. Jadi tidak monoton.
Nurani
: Kamu bicara apa pada Mas semalam?
Budi
: Semalam? Tidak apa-apa kok. Hanya mencoba menjadi seperti mendung itu.
Nurani
: Kamu ingin membuatnya kelabu?
Budi
: Cuma memberi warna yang berbeda, Nur. Supaya tidak menjadi monoton.
Nurani
: Semalam dia suram, Bud. Hampir menjadi gelap.
Budi
: Bukankah tidak selamanya ia harus menunggu?
Nurani
: Gelap itu bisa membuat orang tersesat!
Budi
: Setidaknya ia maju dan bisa belajar. Menunggu itu hanya membuang waktu saja,
tidak memberi apa- apa.
Nurani
: Ini bukan soal penantian saja, Bud. Ini soal komitmen dan kesetian. Itu yang
harus kamu perhatikan juga. Pernah kamu memikirkan itu?
Budi
: Tunjukkan padaku siapa yang meragukan itu semua, Nur.
Nurani
: Aku yang akan menjadi orang yang pertama meragukan itu bila dia sampai menyerah
dalam pergulatan ini.
Budi
: Tidak ada pejuang yang hanya menunggu. Tidak ada perjuangan yang sekedar
menunggu.
Nurani
: Lalu bagaimana menurutmu seharusnya?
Budi
: Dia bebas, Nur!
Nurani
: Aku tidak melihat dia dirantai atau terpasung.
Budi
: Komitmen serta janji- janjinya itu yang memasung mas. Semua itu membuat ia
terbelenggu pada penantiannya! Kamu tidak paham?
Nurani
: Bukankah ia bebas?
Budi
: Karena itu ia tidak boleh terbelenggu seperti ini…
Nurani
: Oleh sebab itu pula ia bebas memilih mau menunggu atau berhenti! Lagi pula
Mas menyayangi gadis itu!
Budi
: Bukankah sayang tidak harus memiliki supaya sayang itu tetap murni dan tidak
dicoreng posesifisme! Rasa sayang itu lebih dari hak milik, lebih dari sekedar
kepuasan seksual!
Nurani
: Apa aku bilang Mas harus memiliki gadis itu?
Budi
: Lantas?
Nurani
: Biarkan ia menanti sebagai ujud rasa sayangnya. Bagaimana pun hasil
penantiannya, ia akan lebih puas apabila ia bisa bertahan sampai akhir!
Budi
: Kalau ia harus kecewa?
Nurani
: Memangnya kenapa? Ia akan menjadi lebih kecewa apabila dia menyerah.
Pecundang adalah orang yang menyerah, banci! Mas bukan seorang banci!
Budi
: Itu bodoh namanya, Nur. Mas bisa mencegah rasa kecewa itu, tapi kenapa ia
menolaknya? Apa itu bukan kebodohan?
Nurani
: Dewabrata bukan orang yang bodoh!
Budi
: Tapi mas bukan seorang Dewabrata dan gadis itu tak bisa kita identifikasi
sebagai dewi Amba!
Nurani
: Mereka sama- sama lelaki yang jantan. Bertanggung jawab pada apa yang
telah ia ujarkan,serta memegang teguh janji. Gadis itu beruntung bila ia
menerima Mas dan berkata “ya” untuk permintaannya.
Budi
: Bagaimana dengan Mas sendiri? Apa ia akan bahagia, Nur?
Nurani
: Pahit pun menjadi manis ketika sepasang kekasih menjalani lakon mereka dalam
kehidupan ini!
Pemuda yang menanti keluar dari dalam rumah dan
lalu menghampiri Nurani dan Budi yang saling memalingkan muka.
Pemuda
: Apa yang menjadi topik debat ini? Lakon apa ini?
Budi
: Kami sekedar berdiskusi tentang kamu..
Pemuda
: Kalian tak harus pusing tentang aku! Aku Cuma pengen sendiri!
Nurani
: Tapi mas…
Pemuda
: Kalian memasungku!
Nurani
: Kalian? Bukankah mas sendiri yang memotong kemerdekaan mas dengan pemikiran-
pemikiran yang tidak jelas juntrungannya itu?
Budi
: Enak banget kamu bilang itu, Nur! Yang benar perasaan yang membelenggu Mas!
Ia menjadi manusia lemah dan naïf! Itu gara-gara perasaan- perasaan yang biru
itu!
Nurani
: Jadi menurutmu lebih baik kelabu dari pada biru?
Pemuda
: Cukup.. Cukuuuupppp!!!! Diam semuaaa!
Budi
: Mas, kamu masih tidak mengerti? Pikirkan hidupmu, mas! Kalau semua ini di
teruskan, semua orang akan memandangmu bodoh dan konyol! Jangan menjadi lembek
gara- gara perasaan, mas! Semua harus kamu pikir dengan seksama, jangan
semrawut seperti ini!
Pemuda
: Peduli setan dengan semua logikamu, Bud! Aku bosan dijejali konsep dan
logika! Tidak semua hal itu sesederhana 1+1=2! Ini lebih dari itu!
Nurani
: Kalau begitu ikuti saja kata hatimu, mas… Ingat, Tuhan berbicara pada umatnya
melalui hati!
Pemuda
: Kamu juga tidak berhak menggurui aku, Nur! Jangan ajari aku menjadi orang
yang lemah dan naïf seperti itu! Aku bukan anak kecil lagi! Usiaku sudah 23
tahun, bukan 5 tahun yang sedikit- sedikit harus disuapi dan dilindungi!
Budi
: Lalu apa maumu, mas? Apa yang kamu mau?
Pemuda
: Aku mau kalian diam!
Budi
: Bullshit! Tanpa kami kamu bukan manusia mas! Tanpa kami, mas tidak lebih dari
Zombie! Tak punya akal dan hati! Apa bedanya mas dengan Babi? Haa? Apa mas?
Apa?
Pemuda
: Kamu samakan aku dengan seekor babi? Lancang sekali kamu…
Budi
: Lancang mas? Apakah mas tidak merasa lancang bila menolak kehadiran kami?
Jangan menjadi seorang kapitalis, mas!
Pemuda
:” Apa maksudmu?
Budi
: Seorang kapitalis hanya tau bahwa yang salah orang lain, tapi tidak pernah
menyadari kesalahannya sendiri! Seperti kamu sekarang ini!
Nurani
: Aku bosan dengan perdebatan- perdebatan ini!
Budi
: Kamu menyerah?
Nurani
: Jangan harap! Aku Cuma bilang kalau aku bosan!
Pemuda
: Kamu boleh berhenti kalau kamu mau.
Nurani
: Dan membiarkan kamu mengikuti pemikiran- pemikiran logis itu? Tidak mas. Aku
dan Budi harus selalu ada buat kamu, bukan aku saja atau Budi saja! Mas tahu
itu.
Budi
: Untuk hal ini aku setuju dengan Nurani, mas.
Pemuda
: Aku ingin sendiri saat ini…
Budi
: Tidurlah, mas!
Nurani
: Hanya tidur yang bisa membuatmu sendiri! Tidur tak kenal logika dan perasaan!
Pemuda
: ( Diam..) Sepertinya harus begitu… Aku mau tidur 1000 tahun lamanya…
Budi
: Apa bedanya dengan mati?
Pemuda
: Aku akan terbangun lagi setelah 1000 tahun lamanya, itu letak perbedaannya.
Budi
: Untuk kemudian berpikir kembali? Untuk kemudian menanti lagi? Untuk kemudian
merasai sakit kembali? Atau untuk apa lagi?
Nurani
: Kematian hanya menyisakan duka, mas. Jangan egois ah…
Budi
: Orang mati mana ada yang merasakan duka, Nur?
Nurani
: Bukan mas yang berduka tapi orang- orang yang mencintai mas.
Budi
: Mas terlalu melankolis…
Nurani
: Mas terlalu logis…
Pemuda
: Aku mau pulang… Menanti dia di rumah, mungkin dia sudah menungguku di rumah.
Budi
: Kalau nyatanya tidak ada dia di rumah?
Pemuda
: Tidur…
BABAK IV
Sore hari, Pemuda keluar dari dalam rumah.
Memandangi sekitarnya, menyadari kalau memang sepi dan lengang. Menyadari bahwa
senja telah datang untuk kesekian kalinya sejak penantiannya.
Pemuda
: Senja telah kembali datang, sayangku. Tidakkah engkau akan datang bersama
rembulan malam ini? 454 malam dan 454 siang sudah aku menantimu dengan harap
yang tak pernah susut. Kadang semua terasa seperti aku menunggu mentari datang
di malam hari bersanding bersama rembulan, tapi nyatanya itu semua hanya mimpi.
Apakah kehadiranmu juga sekedar mimpi bagiku? Telah sekian lama aku menunggu,
harus berapa lama lagi aku menunggu? Ini semua menyakitkan. Datanglah,
hangatkan aku dengan pelukmu, sayangku…
Budi datang bersama Nurani dari samping
belakang panggung. Mereka menghampiri pemuda yang menunggu tanpa mengucap
sepatah kata pun…
Pemuda
: (sambil memandangi kedatangan Budi dan Nurani) Datang juga kalian…
Budi
: Tentu saja. Kami akan datang selalu untuk mengunjungimu, mas.
Pemuda
: Berapa lama lagi aku harus menunggu dia?
Nurani
: Entahlah, hanya Tuhan dan sang waktu yang tahu…
Pemuda
:Mungkinkah dia datang besok?
Nurani
: Tentu…
Budi
: Mungkin juga lusa, minggu depan, bulan depan, tahun depan, atau tak pernah
datang…
Pemuda
: Begitu rupanya, baiklah. Terima kasih sudah selalu menemaniku dalam penantian
yang sangat panjang ini…
Pemuda berjalan masuk ke rumah dengan membawa
penantiannya dan perasaan yang tidak tentu…
Budi
: Tak kusangka, mas kuat menanti selama ini menahan sakit dan perih hatinya…
Nurani
: Aku tidak lemah, Bud…
Budi
: Tidak aku sangkal itu…
Nurani
: Tapi kamu juga tidak lemah, Bud… kehadiranmu hampir membuat mas goyah dalam
penantiannya.”
Budi
: Aku tahu itu. Eksistensi Kita sama- sama kuat untuk mas. Tapi waktu kita
sudah habis, Nur. Kita sudah harus pergi dan sirna…
Nurani
: Iya, Bud… Aku kira kita bisa berdiri lebih lama dari barisan bukit menoreh
itu, ternyata…
Budi
: Ini senja terakhir kita, Nur. Setelah ini kita tidak akan melihat senja
kembali.
Nurani
: Ternyata, Tuhan sudah memilih… Mari Bud..
Budi
: Mari…
Budi dan Nurani pergi beriringan meninggalkan halaman rumah Pemuda yang
menanti…
--o00o--
Seorang Gadis datang dari depan samping panggung dan memanggil
pemuda…
Gadis
: Maaaaasssss, Maaaaassssss, Aku datang Mas….
Fin
Buat
Sani yang (akhirnya memang) tak pernah datang…
Komentar
Posting Komentar